Pengikut

Kamis, 28 Oktober 2021

Repleksi Pembelajaran Matematika di Kelas XII TKJ 2

Hari kamis, 28 Oktober 2021 adalah jadwal mengajar saya di kelas XII TKJ 2. Sesuai jadwal, saya sudah berada di kelas tepat pukul 07.20 Tapi anehnya siswa yang hadir saat itu, baru ada 4 siswa. Selang beberapa saat saya menyiapkan perangkat yang digunakan untuk menunjang pembelajaran Hibrid sederhana yang saya laksanakan. Dua orang siswa tiba-tiba memberi salam dan meminta izin masuk. Saya izinkan saja.

Sambil menunggu laptop loading, saya meminta siswa berdoa bersama, sembari mengingatkan doa merupakan bagian dari upaya kita manusia dalam memperoleh kebaikan dari usaha. Setelah doa bersama usai, beberapa siswa kembali meminta izin masuk. Sebetulnya ada keinginan untuk memberikan sedikit peringatan tapi urung saya lakukan. Saya pikir itu hanya akan memakan waktu yang memang cukup terbatas.

Saya memulai penjelasan dengan aturan main yang akan dijalani selama proses pembelajaran. Saya membagi papan tulis dua bagian. Bagian sebelah kanan, saya gunakan untuk menuliskan alternatif strategi penyelesaian beserta cara mengaplikasikannya. Sementara bagian kedua atau kiri, saya gunakan untuk menuliskan masalah (soal) yang harus dikerjakan oleh siswa. Jadi, strategi mengajar yang saya lakukan saat itu adalah semi discovery learning. 

Saya sebut semi discovery learning karena menurut hemat saya metode discovery learning  yang saya terapkan saat itu tidak sepenuhnya menerapkan sintaks pembelajaran discovery learning. 

Seperti diketahui sintaks discovery learning sebagai berikut:

  • Stimulastion (stimulasi/pemberian ransangan)
  • Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
  • Data collection (Pengumpulan Data).
  • Data Processing (Pengolahan Data)
  • Verification (Pembuktian)

Aturan main yang disepakati saat itu sebagai berikut:

  1. Semua siswa wajib menulis alternatif strategi penyelesaian beserta cara mengaplikasikannya secara lengkap di buku masing-masing sesuai dengan yang tertulis dipapan tulis. Jika ini dilakukan dengan lengkap, maka siswa akan diberi reward berupa nilai 70
  2. Siswa wajib menyelesaikan masalah (soal) yang telah disediakan di sebelah kiri papan tulis. Jika ini dijawab dengan benar, maka siswa akan diberi reward berupa nilai 30
  3. Jadi total nilai siswa 100, jika aturan main dilakukan secara sempurna

Lalu, mengapa saya membuat aturan ini. Sebenarnya ada dua alasan, yaitu:

  1. Saya berasumsi, hampir semua siswa sedang kehilangan TRUST kepada guru, terutama terkait pemberian nilai. Ini semacam dugaan (hipotesis), sehingga saya mencoba melakukan riset kecil-kecilan sekedar ingin membuktikan asumsi atau dugaan tersebut.
  2. Alasan lain, saya ingin memberikan hasil penilaian yang autentik dan komprehensip yang meliputi sikap dan hasil akademik. Menurut saya, jika siswa kurang berhasil secara akademik, maka setidaknya mereka terdidik secara etik, atetude, sikap dan karakter. Nah, sikap tersebut dapat terukur melalui kepatuhan dan sikap mereka saat mengikuti aturan yang telah di sepakati.

Materi yang menjadi pembahasan saat itu, masih berada pada topik jarak pada ruang dimensi 3. Pada pertemuan tersebut, pokok pembahasan adalah menentukan jarak titik ke bidang pada bangun ruang. Saya menggunakan kubus PQRS.TUVW dengan sisi 8 cm sebagai bahan pengantar dan hint atau petunjuk dalam menyelesaikan masalah jarak titik pada bidang. Sedangkan soal yang saya tuliskan disebelah kiri papan tulis adalah kubus ABCD.EFGH dengan sisi 9 cm.
Saya menuliskan langkah-langkah penyelesaian yang dapat dilakukan siswa sebagai berikut:
  • Gambar bidang yang diminta pada bangun ruang (sesuai permintaan soal)
  • Tentukan titik yang diminta (sesuai permintaan soal)
  • Buat bidang yang tegak lurus pada bidang yang diminta
  • Buat garis potong antara kedua bidang
  • Buat (gambar) jarak titik ke bidang melalui titik yang diminta dan memotong tegak lurus garis potong kedua bidang
  • Kumpulkan informasi terkait yang dibutuhkan
  • Gunakan informasi untuk menyelesaikan masalah
  • Buktikan hasilnya dengan memanfaatkan aplikasi geogebra (verification). Untuk langkah ini tidak dapat dilakukan di kelas TKJ 2, karena tidak tersedia perangkat komputer. Proyektor pun tidak tersedia sehingga sulit juga bagi saya untuk menayangkan di papan tulis.   
Berikut hint penerapan langkah-langkah di atas dalam menyelesaikan masalah jarak titik ke bidang:
Diketahui kubus PQRS.TUVW dengan sisi 8 cm. Tentukan jarak titik R ke bidang PQVW
  • Gambar bidang yang diminta, yaitu bidang PQVW. 
            
  • Tentukan titik yang diminta, yaitu titik R
  • Buat bidang yang tegak lurus pada bidang yang diminta, dalam hal ini bidang QRVU (berwarna kuning) tegak lurus bidang PQVW (berwarna Biru)
  • Buat garis potong antara kedua bidang, yaitu garis QV
  • Buat (gambar) jarak titik ke bidang melalui titik yang diminta dan memotong tegak lurus garis potong kedua bidang, dalam hal ini RX adalah jarak titik R ke bidang PQVW. Berikut gambarnya
  • Kumpulkan informasi terkait yang dibutuhkan, yaitu: segitiga QRV sama sisi, sehingga berlaku garis tinggi = garis berat. Garis berat adalah garis yang membagi dua ruas garis dihadapannya. Sedangkan garis tinggi adalah garis yang tegak lurus garis dihadapannya. Contohnya, seperti ini:
  • Akibatnya:
 
Dalam hal ini, maka QX = XV= 1/2 QV  dan RX tegak lurus QV karena RX garis tinggi. Perhatikan segitiga QRV siku-siku di R, sehingga berlaku:
Dalam hal ini, maka QX = XV= 1/2 QV  dan RX tegak lurus QV karena RX garis tinggi. Perhatikan segitiga QRV siku-siku di R, sehingga berlaku:
  • Gunakan informasi untuk menyelesaikan masalah

  • Buktikan hasilnya dengan memanfaatkan aplikasi geogebra (verification). Dalam hal ini, jarak RX dapat diverifikasi dengan aplikasi geogebra sebagai berikut:
Jarak 4,66 cm sama dengan 4 akar 2 

Sementara pada sisi sebelah kiri papan tertulis soal sebagai berikut:
Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan sisi 9 cm. Tentukan jarak C ke bidang AFH

Melalui soal di atas, saya berharap siswa dapat mengikuti jejak atau petunjuk yang telah diberikan untuk menyelesaikan masalah jarak tersebut.

Tapi hasilnya, inilah yang menarik untuk didiskusikan. Diakhir proses pembelajaran saya melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa sesuai kesepakatan. Hasilnya sungguh mengecutkan bagi saya. Dari 12 siswa yang tatap muka, hanya empat siswa yang dapat menyelesaikan (menuliskan) dengan cukup sempurna alternatif strategi penyelesaian beserta cara mengaplikasikannya di buku masing-masing. Sementara satu orang relatif kurang, karena terlihat hasil pekerjaan yang kurang sempurna. Tidak runtut dan lengkap sesuai yang sudah dituliskan. Lima orang lainnya, menulis dengan terburu-buru sehingga hasil pekerjaan masih sangat kurang. Untungnya mereka telah membuat gambar sebagian. Selain itu, mereka melakukan pekerjaan, sesaat setelah segera akan dilakukan penilaian. Dan lebih parah lagi 2 orang sama sekali tidak menunjukkan hasil pekerjaan. 

Selain diikuti oleh siswa yang ada di kelas, pembelajaran juga diikuti oleh tiga orang siswa secara online melalui googlemeet. Dari 3 orang yang mengikuti secara online, hanya satu siswa mengirimkan hasil belajar melalui WA group.

Pada kegiatan pembelajaran tersebut, tidak ada satu orang pun siswa yang dapat menyelesaikan masalah (soal) yang telah dituliskan sejak awal dipapan tulis sebelah kiri. 

Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari kondisi tersebut. Menurut hemat saya, meskipun ini masih perlu diamati secara cermat, terdapat beberapa fenomena yang sedang menghinggapi siswa, yaitu:
  1. Bukti awal tentang dugaan saya, bahwa siswa yang kehilangan TRUST terhadap  ucapan guru terkait nilai hasil belajar telah terlihat. Maksudnya, siswa tidak percaya ucapan guru bahwa mereka akan memperoleh nilai sesuai hasil pekerjaan mereka karena berdasarkan pengalaman mereka nilai tersebut akhirnya akan dieksekusi oleh guru atau pihak lain dengan nilai yang cukup baik. Jadi tidak berdasarkan penilaian obyektif sesuai kompetensi yang dimiliki siswa. Mereka lebih percaya, pada akhirnya nilai mereka akan baik-baik saja, tidak sesuai dengan peringatan dan ucapan guru.
  2. Siswa memiliki sikap dan prilaku belajar yang kurang baik. Hal ini terbukti dari hasil pekerjaan mereka yang sebenarnya relatif sangat mudah karena tinggal menuliskan dengan sempurna informasi dan petunjuk yang telah diberikan atau dituliskan di papan tulis. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan padahal selalu disampaikan dan diingatkan sepanjang proses pembelajaran berlangsung.
Informasi yang saya peroleh tersebut, kemudian saya konfirmasikan kepada tiga orang guru. Konfirmasi tersebut bertujuan menggali perspektif guru lain terhadap dugaan dan asumsi saya terhadap siswa. Pertanyaan yang saya ajukan kepada salah guru sebagai berikut 

"Menurut ibu, seberapa penting nilai bagi siswa saat ini".

Jawaban ibu guru, ternyata sesuai dengan dugaan saya, "Menurut saya, nilai bagi siswa tidak lagi penting". 

Mengapa? saya mencoba menggali lebih dalam "Karena mereka sudah tau pada akhirnya nilainya akan diperbaiki atau dituntaskan oleh guru mata pelajaran atau wali kelas setelah kepepet".

"Kalau begitu, kita memiliki pandangan yang sama tentang nilai siswa ini" jawabku.

Pertanyaan yang sama kemudian direspon juga oleh guru lain, menurut guru tersebut "Saya merasa siswa itu sama sekali tidak tidak ada rasa khawatir meskipun nilai mereka rendah pada proses penilaian" jawab ibu guru tersebut. 

Mengapa bisa demikian? "Iya, karena siswa sadar bahwa seberapa burukpun nilai proses dan nilai akhir mereka, akan selalu diperbaiki atau diekseskusi guru atau oleh wali kelas tanpa proses yang benar" jawab ibu guru. 

Bahka menurut ibu tersebut ketika dia mencoba bersikap tegas kepada siswa, dia malah mendapat peringatan dari guru lainnya agar jangan bersikap keras kepada siswa karena siswa akan melapor kepada kepsek. 

Pertanyaan yang sama, saya ajukan juga kepada guru lainnya yang kebetulan baru bergabung pada forum tidak resmi tersebut. 

Jawaban guru yang ketiga memang agak berbeda, dia mengatakan "Menurut saya sangat penting, kalau rentang antara 1-100, kira-kira 80 lah" demikian tutur ibu guru tersebut. 

Saya mencoba mendalami jawabannya dengan pertanyaan "Apa buktinya jika nilai itu penting bagi mereka? 

Ibu guru menjawab "Terlihat saat mereka mengetahui nilai mereka renda di akhir semester, maka mereka akan segera menghubungi wali kelas untuk memastikan berapa nilai  akhirnya. Jika rendah, mereka akan berusaha menghubungi guru yang bersangkutan" jawab ibu guru panjang lebar. 

Saya mencoba mendalami jawaban sang guru tersebut karena agak berbeda dengan pandangan guru lainya. Pertanyaan saya "Kapan kekhawatiran itu timbul, apakah selama proses pembelajaran, atau ketika selesai ulangan harian, atau nanti setelah akhir semester?"

Jawaban sang guru, "Biasanya ketika mereka melihat nilai akhir semester yang akan ditulis di raport, baru mereka akan melakukan perbaikan". Jadi kalau begitu kesimpulannya sama saja. Nilai proses tidak terlalu penting bagi siswa, karena pada akhirnya akan segera dapat diperbaiki menjelang penetapan nilai akhir. Jika ini yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan proses akademik tidak lagi berjalan sebagaimana semestinya.

Tapi, saya belum puas dengan pandangan-pandangan tersebut. Menurut saya, hal ini perlu digali secara mendalam melalui data obyektif berdasarkan pandangan dominan para siswa. Untuk itu, saya merencanakan sebuh riset kecil-kecilan untuk mengungkap fakta yang tersembunyi dibalik kondisi pembelajaran dan iklim akademik yang ada di sekolah. 

Untuk itu, saya berencana membuat angket untuk siswa dan untuk guru. Dari angket tersebut, diharapkan terungkap fakta tentang perspektif siswa dan guru terhadap proses pembelajaran dan penilaian yang terjadi dan berjalan di sekolah selama ini. Hal ini menjadi penting dan urgen karena akan memberikan dampak yang signifikan terhadap mutu pendidikan dan mutu alumni sekolah.

Beragamnya pandangan para guru dalam menangani proses dan hasil belajar siswa, menurut hemat saya perlu diungkapkan secara obyektif dalam bentuk data yang valid. Apapun pandangan guru dan warga sekolah terhadap iklim akademik, sangat perlu menjadi titik star dalam melakukan perubahan jika sekolah ini bercita-cita menjadi sekolah unggul. 

Jika tidak, maka tidak mungkin sekolah yang dibiayai dengan nilai yang cukup besar ini (hampir 2 milyar pertahun untuk operasional dan bahkan mungkin puluhan milyar untuk biaya program dan fisik) akan menjadi sangat mubazir dan sia-sia. Tentu ini bukan kondisi ideal yang diharapkan. Apalagi ditengah era disrupsi saat ini, sangat perlukan kemampuan mengelola sumber daya secara efektif dan efesien agar mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan. Bagaimana kegagalan mengelola sumber daya menurut prinsip-prinsip ekonomis tidak dapat diabaikan karena hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap output maupun outcmome sekolah. 

Selain itu, kegagalan sekolah mengelola sumber daya secara efektif dan efesien menunjukkan kelemahan mendasar dalam kepemimpinan pendidikan. Sekolah dengan input manusia, memang berbeda dengan pabrik pada umumnya. Sekolah bukan mesin produksi sebagaimana layaknya industri. Tetapi bagaimanapun, sekolah dikelola dengan memanfaatkan sumber daya untuk menjalankan proses pendidikan dengan tujuan akhir memberikan perubahan pada mutu input sesuai standar yang telah ditetapkan. 

Oleh sebab itu, jika mesin produksi memproses masukan (input) menggunakan mesin produksi dengan standar tertentu, maka sekolah memproses input (peserta didik) dengan proses pembelajaran. Disinilah pentingnya kepemimpinan pembelajaran tersebut harus diperkuat. Tugas dan fungsi pimpinan sekolah semestinya berfokus pada penguatan proses pembelajaran, karena disanalah kunci mutu output dan outcome yang akan dihasilkan. Seperti sebuah pabrik, jika terjadi kegagalan produk, maka yang menjadi sasaran perhatian yang pertama adalah fungsi-fungsi mesin produksi, apakah masih masih berjalan normal atau abnormal.

Kepemimpinan pembelajaran memiliki posisi strategis dalam melakukan perubahan pendidikan. Itulah sebabnya, maka para calon kepala sekolah selalu diperkuat pada aspek kepemimpinan ini. Kepemimpinan pembelajaran menurut Eggen dan Kaucak (http://neliti.com) adalah tindakan yang dilakukan kepala sekolah untuk mengembangkan lingkungan kerja yang produktif dan memuaskan bagi guru yang pada akhirnya mampu menciptakan kondisi belajar siswa semakin membaik.

Kondisi belajar siswa selalu menjadi fokus perbaikan pada kepemimpinan pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa ciri kegagalan kepemimpinan pembelajaran terletak pada sikap dan prilaku belajar siswa. Semakin baik sikap dan prilaku belajar siswa, maka berarti semakin baik pula fungsi-fungsi kepemimpinan pembelajaran berjalan. Kondisi ini juga tentu akan berlaku sebaliknya. Nah, jika dikaitkan dengan fakta di atas, maka patut di duga sedang terjadi gradasi pada spek kepemimpinan pembelajaran. 

Jika pada pabrik yang mengalami gagal produk mengerahkan segala sumber daya untuk memperbaiki sumber kegagalan produk, yaitu mesin produksinya, maka pimpinan sekolah sudah semestinya mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mem-push proses perbaikan pada proses pembelajaran dan bukan lainnya. Oleh sebab itu, visi, misi, pola pikir dan suasana kebatinan seorang pimpinan sekolah harus selalu terkait dengan mutu proses pembelajaran. Bukan justru terfokus terhadap aspek lain yang justru hanya bersifat pelengkap.

Pertanyaannya yang menarik adalah, mengapa para pimpinan sekolah seakan sulit menjalankan kepemimpinan pembelajaran? apakah mereka benar-benar tidak memiliki kemampuan dalam menerapkan kepemimpinan pembelajaran
   







0 comments:

Posting Komentar