Pengikut

Sabtu, 16 Oktober 2021

Etika Dalam Karir ?

Entah kenapa tiba-tiba saja, saya tergelitik untuk menulis hal ini. Yang jelas saya berharap ada hikma dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini. Atau boleh jadi, ini menjadi salah satu rujukan diskusi untuk mengulik sejauh mana etika dan kepantasan dalam ruang lingkup profesi dan tata berorganisasi di lingkungan pendidikan. 

Satu hal yang pasti, menurut saya ini cukup menarik untuk dielaborasi, terutama dalam konteks karir, kepemimpinan, maupun manajemen sumber daya guru. Kalau di ketentaraan atau kepolisian kan jelas, alur dan aturannya. Pangkat tertinggi akan menjadi atasan. Jika tidak ada jabatan maka sang perwira paling banter ditempatkan sebagai perwira tanpa jabatan. Yang jelas, tidak diberi jabatan di bawah jabatan yang diduduki oleh personil yang pangkatnya di bawah yang bersangkutan. Mekanisme ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di struktural.

Tapi ini bukan soal jabatan. Namun menyangkut hal yang lebih substansi dari itu, yaitu soal relasi kualitas individu (personal) dalam suatu sistem sosial atau organisasi dengan etika dan kepantasan. Contohnya ketika disebuah acara keluarga, hadir seorang haji, maka sang tuan rumah akan menempatkan pak haji atau ibu haji ditempat yang dipandang pantas untuk pak haji atau ibu haji. Pak hajinya terhormat, dan tuan rumanya juga merasa puas dan bangga karena sudah dapat menempatkan seseorang pada tempat yang sesuai. Begitulah etika kita, kecuali yang bersangkutan menghendaki lain. Saya sengaja memilih contoh ini, menurut saya lebih mudah dicerna, karena kita sudah sering mengalaminya.

Suatu ketika, saya juga perna menyimak percakapan suatu peristiwa yang dialami oleh Pimpinan Daerah. Ceritanya begini, suatu saat beliau hadir disebuah acara (saat itu status masih sebagai calon Pimpinan Daerah). Mungkin karena sedikit terlambat, kursi di deretan depan sudah penuh. Tentu saja, sebagai tuan acara, secara etik akan meminta sang calon pemimpin untuk duduk di deretan depan. Tapi apa yang terjadi? ternyata sang calon pemimpin sempat mendapatkan situasi yang kurang nyaman. Penyebabnya, ada oknum yang semestinya dapat memberikan tempat kepada sang calon pemimpin saat itu, tetapi memilih tidak melakukannya. Sehingga membuat suasana menjadi kurang kondusif. Nah, lagi-lagi ini soal etika. Ini bukan benar atau salah, tetapi soal kesantunan, kepantasan. Pantaskah seorang dengan kapasitas calon pemimpin daerah dibuat kikuk di depan umum?

Etika sebagai nilai (value) sosial tidak selalu korelasi langsung dengan aturan (rule) benar atau salah. Menempatkan pak haji paling belakang dalam sebuah majelis tidak salah, karena tidak ada aturan yang dilanggar. Demikian juga dengan seorang tokoh yang ditempatkan di deretan terakhir, juga tidak salah. Tetapi dari sisi nilai (value), etikanya tidak demikian. Dengan "kualitas sosial" yang dimilikinya, akan menjadi lebih pantas dan mulia bagi tuan rumah, jika keduanya ditempatkan pada posisi yang sesuai. Mungkin tidak mesti diurutan terdepan, tetapi yang jelas cukup pantas dengan "statusnya".

Nah, nilai-nilai sosial seperti ini nampaknya sedikit demi sedikit mulai mengalami dilatasi dari kehidupan sosial. Indikasinya seperti peristiwa di atas. Hal ini bahkan terjadi di institusi pendidikan, baik disadari atau tidak. Padahal institusi pendidikan adalah benteng moral yang bertanggungjawab menjaga nilai-nilai luhur bangsa ini. Jika ini dibiarkan, tidak dikoreksi, atau setidaknya diingatkan, maka bisa jadi akan semakin mengaburkan nilai-nilai luhur.

Coba anda cermati peristiwa ini. Suatu ketika seorang guru bergelar Doktor (Ph.D) dari luar negeri pulang ke kampung halaman dan kembali mengajar sebagaimana layaknya guru di sekolah asalnya. Dengan gelar Ph.D yang dimilikinya, beliau menjadi kebanggaan warga sekolah. Nama baik sekolah terangkat. Sekolah semakin dikenal karena memiliki orang hebat bergelar Dr. ..., S,Pd, M.Pd, M.Si. Dengan kemampuan bahasa inggris yang sangat baik, dan tentu saja wawasan dan pengalaman luar negeri yang luas, maka sangat layak rasanya menempatkan beliau di posisi tertinggi saat itu. Jika kita pimpinan, maka setidaknya dengan atribut yang tidak biasa itu, kita akan menempatkannya sebagai penasehat (Tanpa jabatan). Bahkan "jika tidak berlebihan" sebagai wakasek pun rasanya masih kurang pantas. Sekali lagi ini soal kepantasan, bukan soal benar atau salah. 

Oleh karena itu, jika pimpinan menempatkan seorang guru sekelas Doktor dengan pengalaman luar negeri sebagai wali kelas misalnya, apakah pantas? mungkin ini memang debatable. Tetapi, dalam pandangan saya ini pasti sebuah insiden yang tidak pantas. Sekali lagi, tidak salah menempatkan beliau sebagai wali kelas. Tetapi yang jelas, ini menunjukkan kedangkalan berpikir pengambil keputusan. Jika ditinjau dari aspek manajemen, ini menunjukkan kelemahan sisi manajemen sumber daya, karena tidak mampu menempatkan SDM sesuai kapasitas dan kapabilitasnya.  

Dan ini fatal, karena salah satu penyebab tidak efektifnya penggunaan sumber daya sekolah karena kelemahan manajemen sumber daya. Akibatnya penggunaan sumber daya menjadi boros, tidak efektif, apalagi efesien. Penggunaan anggaran negara besar, tetapi hasilnya tidak mengalami progres. 

Kapasitas seorang Doktor, yang hanya ditempatkan sebagai wali kelas, bukan hanya merendahkan kualifikasi pendidikan yang selalu kita banggakan, tetapi juga bentuk tindakan mubazir atau tidak ekonomis. Bagaimana tidak mubazir, kalau sumberdaya yang besar hanya digunakan pada posisi yang dapat dilakukan oleh sumberdaya yang jauh lebih kecil.

Kondisi seperti di atas seperti sudah menjadi kebiasaan dari model kepemimpinan di sekolah. Proses pembinaan dan pengembangan karir guru di sekolah sangat amburadul. Tidak ada aturan yang jelas bagaimana seseorang harus menempati sebuah jabatan atau tugas tambahan. Semua berjalan sesuai selera pimpinan. Kalau pimpinannya memiliki kualitas yang tinggi, mungkin tidak masalah. Tetapi bagaimana dengan kualitas pimpinan yang pas-pasan? Pasti akan menimbulkan kekacauan. 

Padahal salah satu standar nasional pendidikan adalah standar pengelolaan. Standar pengelolaan semestinya mengatur bagaimana penjalanan karir itu dikelola. Dalam peraturan Mendiknas nomor 12 tahun 2016 disebutkan





0 comments:

Posting Komentar