Pengikut

Minggu, 08 Agustus 2021

Dinamika Program TUK sebagai sarana Peningkatan Mutu SMK

Muliadi, S.Pd, M.Pd

Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya SMK. Meskipun situasi dan kondisi tidak normal atau berada di masa new normal. Berbagai program tetap berjalan. Pandemi Covid-19 yang belum menemukan titik akhirnya ini, ternyata tidak mampu menyurutkan semangat implementasi program walau sejenak. Kendatipun dibeberapa daerah telah melaksanakan PSBB, pelaksanaan kegiatan tetap berjalan sebagaimana jadwal yang telah ditentukan.

Upaya pemerintah tersebut bersambut dengan semangat tinggi para pelaksana di satuan pendidikan. Terbukti pelaksanaan program yang telah diamanahkan tetap dilaksanakan meskipun situasi dan kondisi serba terbatas. Alhasil pelaksanaan sosialisasi pembentukan TUK (Tempat Uji Kompetensi) berstandar industri di SMK Negeri 1 Tolitoli terlaksana sesuai waktu yang telah direncanakan. 

Sosialisasi pelaksanaan program bantuan pembentukan TUK berstandar industri tahun 2020 merupakan salah satu dari rangkaian program bantuan TUK di SMKN 1 Tolitoli. Pelaksanaan sosialisasi ini dilaksanakan pada hari sabtu, tanggal 26 September 2020 di Aula SMKN 1 Tolitoli. Secara umum pelaksanaan sosialisasi berjalan lancar dan aman, meskipun dalam sesi diskusi muncul persoalan-persoalan yang ternyata tidak mudah terpecahkan.


Tiga orang narasumber yang menjadi pembicara pada acara tersebut, yaitu Bapak Drs. H. Zahlin Ambodalle, MM, Bapak Jadi, S.Pd, MM, dan Bapak Mudasir, S.Pd. Drs. H. Zahlin, MM merupakan pengawas pembina SMK di Kabupaten Tolitoli. Beliau memaparkan soal eksistensi LSP sebagai sarana pendukung dalam penyiapan tenaga kerja kompeten dan memiliki daya saing, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Menurut beliau ada dua hal yang mendasari perlunya sertifikasi kompetensi. Pertama memberikan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Kedua memberikan jaminan dan pengakuan atas kompetensi yang telah dimiliki oleh seseorang.   

Sementara itu, Jadi, S.Pd, MM yang menjadi pembicara kedua lebih menekankan pada mekanisme pelaksanaan uji kompetensi di tempat uji kompetensi. Menurut beliau terdapat dua jenis TUK yang ada di sekolah, yaitu TUK Mandiri dan TUK sewaktu. TUK mandiri adalah TUK bukan di tempat kerja yang bermitra dengan LSP untuk digunakan sebagai tempat uji secara berkelanjutan. Kemitraan tersebut utamanya mencakup kesediaan untuk memelihara peralatan teknis dan kondisi uji di TUK terhadap persyaratan yang ditetapkan. 

Sedangkan TUK sewaktu menurut beliau adalah TUK yang terbentuk sesuai dengan kondisi kebutuhan saat itu dan terverifikasi memenuhi syarat oleh LSP.


Materi yang disampikan oleh Pak Jadi demikian beliau biasa disapa, ternyata cukup singkat. Beliau yang bertindak mewakili kepala cabang dinas pendidikan menengah wilayah VI Kabupaten Buol Tolitoli pada saat yang sama harus mengisi kegiatan lainnya. 

Pembicara ketiga adalah Bapak Mudasir, S.Pd. Bertindak sebagai kepala sekolah, beliau lebih banyak memaparkan soal strategi kebijakan mutu dan LSP dalam meningkatkan mutu lulusan SMK khususnya di SMKN 1 Tolitoli. 

Idealisme dan optimisme yang tinggi mewarnai konsep dan pemikiran yang disampaikan oleh para pembicara. Namun ternyata konsep dan pemikiran ideal tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi kontekstual yang dihadapi. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam pengelolaan SMK sebagai sarana mewujudkan tenaga kerja dengan kualifikasi kompetensi yang berstandar industri kenyataannya masih terlalu jauh.

Fakta-fakta berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi oleh SMK ini terungkap pada saat sesi diskusi terkait pembentuk TUK. Ada beberapa fakta menarik yang muncul dari pertanyaan dan pernyataan peserta, diantaranya adalah soal MOU (Memorandum of Understanding). MOU atau kesepakatan kerja sama antara pihak industri dan SMK selama ini telah menjadi program andalan kemendikbud, khususnya PSMK yang diharapkan dapat segera diwujudkan. 

Program ini sudah berlangsung lama, bahkan telah berlangsung lebih dari 5 tahun terakhir. Di SMK Negeri 1 Tolitoli bahkan telah melampaui lebih dari 5 periode kepemimpinan kepala sekolah. Namun menariknya tidak satupun kepala sekolah di Tolitoli yang berhasil mewujudkan MOU dengan pihak industri. 

Dalam suatu kesempatan, menurut kesaksian Bapak Asri, S.Pd, MM yang juga sebagai wakasek kurikulum di SMKN 1 Tolitoli bahwa perna dilaksanakan semacam pertemuan antara pihak SMK se Sulawesi Tengah dengan sejumlah dunia usaha dan industri (dudi) yang ada di kota Palu. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dalam hal ini Dinas Pendidikan. 

Pertemuan tersebut bermaksud mempertemukan pihak industri dan SMK agar kedua belah pihak dapat segera mewujudkan suatu kerja sama (MOU) yang saling mendukung. Apa yang terjadi? ternyata menurut Pak Asri, S.Pd, MM, tidak satupun pihak dudi yang hadir. Kalaupun ada yang hadir, itu hanya salah satu BUMN milik pemerintah yaitu kantor pos. Dan inipun hanya diwakili oleh salah satu staf, bukan pimpinan. Alhasil, MOU yang rencananya  akan disepakati antara pihak SMK dengan dunia usaha dan industri tidak dapat dilaksanakan alias batal.

Fakta lainnya adalah dalam pengembangan SOP TUK di SMKN 1 Tolitoli yang telah dilaksanakan sebelumnya. Ternyata pihak industri yang telah dijadikan mitra hanya mengirimkan salah satu staf. Masalahnya bukan hanya itu, ternyata staf yang diutus mewakili dudi tersebut juga bukan tenaga ahli sehingga tidak menguasai SOP yang akan disusun. Akibatnya SOP final yang disusun bersama lebih bersifat formalistik, asal jadi, asal program sudah berjalan, dan tidak benar-benar menggambarkan SOP yang berjalan di dudi.    
  
Kondisi seperti itu tidak hanya dialami oleh SMK di daerah seperti SMKN 1 Tolitoli. Suatu ketika penulis sendiri perna mengikuti program pertukaran kepala sekolah SMK se-Indonesia, pada tahun 2015-2016. Saat itu penulis mendapat mitra salah satu SMK yang cukup terkenal di kota Surabaya, yaitu SMK 5 Surabaya atau SMK pembangunan. SMK ini adalah SMK teknologi yang menerapkan masa studi 4 tahun. Dimana 3 tahun masa pendidikan ditempuh di sekolah, dan 1 tahun sisanya dilakukan di industri. Jadi SMK 5 Surabaya umumnya melaksanakan masa praktek kerja didunia industri itu selama satu tahun penuh. Hal ini tentu jauh berbeda dengan masa praktek yang dilakukan oleh SMK-SMK di Sulteng, apalagi Tolitoli yang umumnya hanya 3 bulan.

Menurut hemat penulis, dengan masa praktek seperti itu maka SMKN 5 Surabaya pastilah memiliki MOU tertulis dengan pihak industri. Tetapi faktanya, pihak manajemen SMKN 5 Surabaya pun tidak dapat menunjukkan MOU antara pihak industri mitra mereka dengan sekolah. Menurut salah satu wakaseknya, bahwa tidak ada pihak industri yang bersedia menandatangani MOU. 

Jika SMK sebesar SMKN 5 Surabaya yang memiliki lahan seluas kurang lebih 4 Ha, dengan dukungan  fasilitas yang sudah cukup canggih, lingkungan sekolah yang sangat dekat dengan industri pasangan belum juga dapat meyakinkan pihak dudi untuk membuat MOU, apalagi dengan SMK yang ada di daerah?  Dari fakta ini penulis menyimpulkan bahwa membuat MOU tertulis dengan dudi merupakan suatu rencana yang terlampau ideal, sehingga hampir impossible diwujudkan. 

Pertanyaannya adalah perlukah dokumen MOU itu harus ada? keuntungan apa yang dapat diperoleh oleh SMK? jika hanya sekedar tempat praktek, bukankah selama ini siswa yang melaksanakan praktek di dudi masih diterima? artinya tidak ada problem yang signifikan yang membuat MOU itu harus ada. Dari pada harus merendahkan martabat SMK, lebih-lebih martabat pendidikan hanya untuk memohon kesediaan dudi agar mau menandatangani MOU, lebih baik tidak.

Apalah artinya SMK dimata industri besar dengan orientasi profit. Industri yang hakekatnya bisnis oriented tentu memiliki pertimbangan tersendiri dalam membuat MOU. Mungkin bagi SMK MOU hanya sekedar ikatan kerjasama dalam kegiatan praktek semata, atau hanya sekedar menunjukkan kualitas semu. Tetapi bagi industri tentu tidak demikian, MOU adalah suatu ikatan yang memberikan dampak terhadap aktifitas produksi. MOU harus menguntungkan, jika tidak menguntungkan buat apa ada MOU.

Pertanyaan mendasarnya adalah keuntungan apa yang dapat diperoleh industri mau bekerja sama dengan SMK, sehingga perlu diikat dengan MOU?

Atau atas kepentingan apa industri harus bekerjasama dengan SMK sehingga perlu MOU?

5 komentar: