Pengikut

Jumat, 27 Agustus 2021

Ironi Pengabdian


Sumber gambar: Kumpuran

Ironi Pengabdian
Oleh: Muliadi

Setiap orang pasti punya kisah menarik dalam hidupnya. Setiap episode hidup itu unik, sehingga boleh jadi kisa seseorang menjadi ibrah atau pelajaran, inspirasi dan motivasi bagi hidup orang lain.

Saya menulis kisah ini selain sebagai sebuah effort pada diri sendiri dalam mengabadikan satu layer dari perjalanan karir. Cerita ini juga saya persembahkan kepada kawan-kawan relawan guru yang pernah berbagi suka dan duka sebagai pengabdi pendidikan di desa Pagaitan. Sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota, dengan akses jalan yang sangat memilukan.

Mereka adalah guru-guru yang penuh dedikasi dan keikhlasan. Mereka adalah guru hebat meski tanpa gelar dan ijazah yang layak. Tidak ada honor yang sepadan. Tapi semangat pengabdian mereka terus terjaga sampai mereka terabaikan oleh waktu.

Kisa singkat ini, dimulai medio 2006, ketika saya dipanggil oleh kepala dinas pendidikan Tolitoli. Panggilan tersebut disampaikan secara lisan melalui salah seorang staf dinas yang bertugas menangani ketenagaan. Saya bertanya tanya apa gerangan yang akan disampaikan oleh pak kadis. Dengan seizin staf yang menyampaikan pesan, saya menghadap pak kadis. 

"Pak Mul, saya mau minta tolong" kata pak Kadis. 

"Siap pak" jawab saya tegas. Padahal saya sendiri belum tahu apa permintaan pak Kadis waktu itu.

"Begini pak Mul, saya minta tolong kepada bapak, supaya bapak mau jadi pimpinan SMP satap (satu atap) di desa Pinjan" ujar pak kadis. 

Mendengar permintaan tersebut, saya tidak langsung menjawab. Saya sempat bimbang antara menerima atau tidak tugas tersebut. 

Saya sangat kenal dengan desa yang dimaksud pak Kadis, karena desa itu adalah kampung halaman saya dan pak Kadis. Tetapi yang membuat saya berpikir adalah jarak antara desa Pinjan dari Kota Tolitoli tempat saya tinggal. Jarak antarak tempat tersebut kurang lebih 80 km. Jalan yang harus dilalui juga bukan jalan yang mudah. Perjalanan akan melalui tebing terjal, berliku khas jalanan pegunungan. Sementara waktu itu, saya memiliki tugas lain sebagai ketua jurusan di sebuah PT di kota Toli-toli. Dengan jarak dan medan seperti itu tidak mungkin bagi saya bolak balik dalam sehari. 

Sejujurnya saya tidak berani menolak permintaan pak Kadis. Olehnya itu meski dengan berat hati saya iyakan saja permintaannya. Tetapi saat keluar dari ruangan pak kadis, saya langsung menemui staf ketenagaan dan menyampaikan dilema yang saya alami. Saya katakan kepada staf "Saya tidak berani menolak permintaan pak Kadis, tetapi saya minta kepada bapak kiranya dapat mempertimbangkan keadaan saya". Untungnya staf ketenagaan waktu itu dapat memahami keadaan saya dan berjanji akan mencari alternatif lain.

Sekitar bulan Juli 2006 akhirnya surat tugas saya sebagai pejabat pelaksana kepala SMP Mekarsari di desa Pagaitan keluar. Saya bersyukur karena tidak jadi ditempatkan di desa Pinjan sebagaimana permintaan pak Kadis. Tetapi dialihkan ke SMP lain yang relatif lebih dekat dengan kota. Dengan demikian berarti saya tidak perlu meninggalkan tugas sebagai ketua jurusan di PT meskipun secara kedinasan saya bertugas di desa Pagaitan.

Saya sendiri belum pernah sama sekali ke desa Pagaitan ini. Jangankan ke desa Pagaitan, mendengar namanya saja asing ditelinga saya. Berbekal surat tugas dan sedikit petunjuk mengenai lokasi desa saya berangkat dengan sepeda motor. Saya cukup menikmati perjalanan yang terbilang berat waktu itu. Kegemaran menghadapi hal-hal yang memicu adrenalin membuat saya sedikit rileks meskipun jalan menuju desa cukup parah.. 

Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, saya sampai di desa Pagaitan. Sambil mencoba mencari lokasi sekolah, saya ikuti jalan desa yang kebanyakan berupa timbunan batu gunung. Sampailah saya di depan sebuah Gereja. Sekitar pukul 10.00 siang, saya berhenti sejenak sambil mengamati sekeliling. Melihat saya berhenti, sekonyong-konyong dari samping Gereja seseorang mendekati dan menyapa saya.

"Selamat siang pak, cari siapa pak" tanyanya. 

"Selamat siang pak" saya menjawab spontan. 

"Saya mencari sekolah pak" sambil saya memperlihatkan surat tugas. 

Setelah melihat surat tugas, bapak tersebut langsung tersenyum gembira. 

"Bapak sudah kami tunggu dari tadi pak" katanya. 

Saya heran kok bisa "Darimana bapak tau saya mau datang?"

"Kenalkan pak, saya pak Romus" dia memperkenalkan diri.

"Kami sudah disampaikan sejak minggu lalu kalau bapak mau datang" jelasnya. 

Saya diajak oleh pak Romus menuju lokasi sekolah melalui jalan setapak di samping gereja tempat saya berhenti. Sebelum kami memasuki lokasi sekolah Pak Romus menunjuk ke arah sekolah yang akan kami tuju. Waw keren.., benar-benar diluar ekspektasi saya. Sebelum berangkat, sebenarnya saya membayangkan bahwa sekolah yang akan saya pimpin pertama kali ini setidaknya berupa bangunan sekolah yang berdiri sendiri, dan di lokasi tersendiri. Saya memang tidak membayangkan yang muluk-muluk tentang SMP Mekarsari sebelumnya. Tetapi saya juga sama sekali tidak menduga kalau sekolahnya hanya menempel di sebuah bangunan SD. 

Dalam hati saya berkata "Ini tantangan seru juga". Demikianlah, saya diperkenalkan oleh pak Romus kepada kawan-kawan guru yang lain serta siswa-siswa SMP Mekarsari. Penampilan guru-gurunya jauh dari kesan guru pada umumnya. Mereka tidak punya seragam khusus, alas kaki pun jarang dari sepatu, hanya sandal jepit yang bahkan sudah terlihat kumal. Siswa-siswanya hampir tak ada bedanya, jarang sekali yang menggunakan sepatu. Seragam hanya digunakan oleh sebagian siswa. Lebih banyak baju seadanya, yang penting bagi mereka sekolah dan bisa belajar seperti siswa lain.

Pak Romus sendiri adalah pimpinan sekolah Mekarsari sebelum saya ditunjuk sebagai pimpinan sekolah yang baru. Pak Romus bukan PNS, dia hanya guru kontrak yang belum beruntung jadi PNS padahal usianya sudah lebih dari 50 tahun saat itu. Beliau adalah guru matematika yang handal bagi siswa-siswanya. Bukan hanya itu, saya harus angkat topi dan mengaku salut, kagum atas kebesaran hati pak Romus yang sukarela menyerahkan kepemimpinan sekolah yang didirikannya tanpa rasa iri, dengki atau sakit hati sedikitpun. Bukan hanya pak Romus sendiri yang menjadi guru di sekolah itu, tapi juga istrinya. Keduanya memiliki sikap keteladanan yang sangat baik sebagai guru yang diangkat oleh pengabdian.

Singkat cerita, akhirnya saya menjadi kepala sekolah PNS pertama di SMP Mekarsari. Sementara wakil kepala sekolah, saya berikan kepada pak Romus sebagai guru paling senior. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain seperti ibu grace (istri pak Romus), pak Talang, pak Silvester, pak Wayan, dan lain-lain membantu kami sebagai guru. Mereka bukan guru biasa, tetapi mereka guru luar biasa yang diangkat dan berhentikan oleh waktu. Hanya dengan modal semangat untuk mendekatkan pendidikan ke desa, mereka bersedia menjadi guru dengan modal seadanya. 
  
SMP Mekarsari adalah sekolah yang jauh dari kesan layak. Bangunan sekolah hanya menempel ke SD, berdinding papan seadanya dengan lantai tanah. Sekat antar kelas hanya dibatasi beberapa lembar papan, tidak tertutup, yang penting ada pembatas. Siswa dan guru dari kelas berbeda dapat saling menyapa. Sehingga kadang-kadang kalau ada guru yang berhalangan, guru yang bertugas saat itu, tidak perlu repot-repot keluar kelas untuk membantu kelas lain. Tetapi cukup menyapa dari pembatas ruangan kelas yang terbuka. 

Tidak ada listrik, tidak ada air ledeng. Bangunan sekolah hanya sebuah bangunan sementara. Sangat kontras dengan penampilan bangunan SD tempat SMP Mekarsari menumpang. Dari cerita pak Romus, sekolah ini lebih layak disebut sekolah nomaden, karena sering berpindah-pindah tempat. Tempat dibelakang SD, adalah tempat terakhir yang ditempati oleh SMP Mekarsari. Sebelum sampai di belakang SD, sekolah ini sudah beberapa kali berpindah tempat. 

SMP Mekarsari lahir dari sebuah keprihatinan pak Romus atas banyaknya anak-anak usia SMP di desa Pagaitan yang terpaksa putus sekolah karena sulitnya akses ke SMP terdekat. Dengan bantuan beberapa orang, mereka bersepakat membuat sekolah darurat yang diberi nama SMP Mekarsari. Sekolah darurat ini menempati sebuah bangunan bekas koperasi Desa. Ruangan yang berukuran 4 m x 5 m menjadi tempat belajar. Meja dan kursi siswa berasal dari sumbangan perabotan SD yang sudah tidak terpakai.

Namun setelah 3 tahun berlalu, SMP Mekarsari harus mencari tempat baru. Bangunan yang mereka tempati akan digunakan pemerintah desa. Mau tidak mau, pak Romus dan guru harus mencari tempat lain. Oleh pak Kades waktu itu mereka disarankan memindahkan sekolah ke area pasar. Masalahnya, mereka tidak memiliki bahan bangunan yang siap digunakan. Berita baiknya pak Kades dan orang tua siswa mau membantu dengan memberikan bantuan material kayu dan atap seng seadanya.

Berbekal material kayu dan atap seng hasil sumbangan, dibangunlah sekolah baru. Kebetulan pasar desa hanya dibuka sepekan sekali yaitu hari minggu. Sehingga sekolah dapat memanfaatkan lokasi pasar dengan leluasa. Waktu sekolah tidak perlu terganggu dengan keramaian pasar. Demikianlah anak-anak dapat menikmati hari-hari sekolah mereka dengan semangat dan gembira. Anak-anak antusias belajar, meskipun dengan segala keterbatasan.       

Lebih dari setahun, sekolah darurat di dekat pasar dapat digunakan. Anak-anak juga sudah merasa nyaman bersekolah di sana. Selain karena lokasinya cukup strategis, tidak jauh dari jalan besar yang menghubungkan desa Pagaitan dengan desa lain,   juga tempatnya tidak becek meskipun musim  hujan. Tetapi sayang, SMP Mekarsari tidak bisa berlama-lama menempati area pasar. Bangunan pasar akan di renovasi. Lagi-lagi sekolah harus pindah dan mencari tempat yang baru. 

Tidak ada jalan lain, sekolah harus pindah karena schedule pembangunan pasar sudah ditentukan. Mencari lokasi baru untuk sekolah di desa Pagaitan bukan perkara mudah. Lokasi desa yang kebanyakan rawa tidak banyak menyisakan tempat yang layak untuk mendirikan sekolah. Selain itu, keterbatasan anggaran menjadi pertimbangan. Jangankan anggaran untuk menyiapkan lahan, sekedar menyediakan material saja sudah menjadi masalah. Untungnya pak Kades mau meminjamkan tempat di samping kantor Desa. 

Kesempatan itu tidak disiasiakan oleh pak Romus. Hari itu juga beliau menyusun rencana pemindahan sekolah ke lokasi baru. Bangunan sekolah sederhana yang mereka dirikan akhirnya harus dibongkar. Bersama anak-anak, guru, dan sebagian orang tua siswa, sekolah dipindah ke tempat baru. Masing-masing mengambil bagian membawa material bangunan yang telah dibongkar. Tidak butuh waktu lama, semua material sekolah berhasil dipindahkan. Partisipasi orang tua dan warga yang cukup tinggi membuat pak Romus tidak perlu mengeluarkan biaya.

Tetapi ujian terhadap kesabaran pak Romus dan kawan-kawan guru sepertinya belum berakhir. Setelah kurang lebih 6 bulan belajar di sekolah yang baru, muncul lagi pemberitahuan dari pak kades agar segera mencari tempat lain, karena lokasi kantor Desa akan digunakan. Dapat dibayangkan betapa galaunya hati pak Romus saat itu. Belum lagi saat itu ulangan semester baru akan dimulai. Syukur pak Kades bersedia memberikan izin sampai semesteran selesai. 

Tepat hari terakhir semester, sore harinya mulai dilakukan pembongkaran bagian-bagian yang mudah dilepaskan. Dinding papan yang terpasang satu persatu meninggalkan tempatnya. Beberapa orang melepaskan atap seng. Entah karena banyak yang membantu atau karena bangunannya yang memang tidak kokoh, sebentar saja bangunan darurat itu tinggal rangka. Matahari mulai menuju peraduan diiringi suara merdu jangkrik menyambut datangnya malam, mereka menghentikan kegiatan. Tumpukan kayu dan seng dibiarkan bermalam. Rencananya besok baru dilanjutkan.

Matahari merangkak naik malu-malu, embun pagi menempel malas di lembaran daun nan hijau pak Romus sudah berada di lokasi pembongkaran. Beberapa lembar papan yang terikat rapih siap di pindahkannya. Satu persatu siswa mulai berdatangan membantu proses pemindahan material yang ada. Syukur tidak terlalu jauh, hanya lebih seratus meter dari lokasi pembongkaran ke tempat baru di belakang SD. Sedikit demi sedikit tumpukan kayu dan seng mulai berkurang. Beberapa orang tua siswa yang membantu kemarin, mulai melepas tiang-tiang penyangga. 

Tidak sampai siang hari, semua kerangka bangunan sudah berpindah ke lokasi yang baru. Semangat gotong royong yang dimiliki warga bersama guru dan siswa sangat membantu mempercepat proses pemindahan. Tidak ada yang dibayar, yang ada hanya keikhlasan. Kalau pun ada, itu hanya sekedar air minum, teh dan kue-kue ringan khas Desa. Tetapi semangat yang ditunjukkan sungguh luar biasa. Kerangka bangunan yang dibongkar kini siap dipasang kembali. Reng atap sekolah langsung dilekatkan ke bagian rangka atap SD. Cara itu sengaja dilakukan untuk mengurangi pemakaian bahan.

Setelah kurang dari seminggu, bangunan sekolah baru di belakang SD akhirnya sudah bisa digunakan. Ada tiga ruang kelas, masing-masing dibatasi dinding papan. Dinding pembatas kelas yang dibuat memang tidak menutupi semua bagian kelas, hanya sebagian, yang penting ada batas. Prioritas penggunaan papan lebih diarahkan pada dinding luar kelas. Tiga pintu kelas semuanya menghadap ke arah dinding SD. Lantai tanah hanya ditutupi pasir dan batu kerikil. Tujuannya agar tidak mudah becek, terutama di musim hujan. Tidak ada kantor untuk sekolah. Tidak ada meja atau kursi untuk guru. Kegiatan administrasi semuanya dilakukan di rumah guru masing-masing.

Demikian perjalanan SMP Mekarsari sampai kehadiran saya di sekolah tersebut. Guru-guru yang penuh kesabaran. Mereka bukan PNS. Kebanyakan dari mereka adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri untuk pendidikan. Ada yang berijazah SMA. Tetapi ada pula yang hanya berbekal jasa SMP, yang penting mereka dapat mendidik dan sedikit dapat membantu siswa memahami mata pelajaran. Siapa sangka, berkat dedikasi mereka yang luar biasa itu, sejumlah alumni SMP darurat itu kini telah menjadi orang-orang berhasil. Salah satu dari alumninya saat ini bertugas sebagai supervisor di Bank BNI Bandara Ngurah Rai Bali. Sedangkan lainnya ada yang telah menjadi guru, melalui jalur seleksi yang ketat dua tahun yang lalu, dan profesi lainnya. 

Ironisnya, pak Romus yang menyandang status sebagai guru kontrak sampai akhir masa pengabdiannya tidak berhasil menjadi seorang PNS. Pengabdian dan perjuangan yang luar biasa dari seorang penduduk desa yang tak memiliki modal materi, akhirnya harus menerima kekalahan. Nilai perjuangan dan pengabdian tak berdaya ketika harus berhadapan dengan regulasi dan kepentingan penguasa. Saat ini pak Romus, sang guru matematika hebat, menjalani hari-hari tuanya dengan berkebun di gunung yang tidak jauh dari desa. Sekolah yang dulu menjadi tempat pengabdiannya, seakan tak kenal lagi dengan dirinya. 

Tidak jauh berbeda dengan pak Romus, guru-guru SMP Mekarsari yang kurang lebih 2 tahun mendampingi saya di SMP Mekarsari yang kemudian berganti nama menjadi SMPN 3 Ogodeide kembali menjalani profesi sebagai petani atau ibu rumah tangga. Mereka harus mengalah oleh waktu dan perubahan. Mereka tidak lagi digunakan sebagai guru. Tetapi jasa dan kerja keras mereka telah mencatatkan nilai keabadian untuk pendidikan.

 





14 komentar:

  1. Wow ... cerita yang menkjubkan tetapi mengharukan. Luar biasa. Keren, Pak. Semoga para guru mendapatkan kehidupan yang bahagia.

    BalasHapus
  2. Luar biasa Pak Muliadi, menjadi teladan bagi kita semua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pak Anton, saya tak sangka pak Anton baca tulisan saya

      Hapus
  3. Kisah.yang.luar biasa.....untuk.menemukan masyarakat yang gotong royong. Salut akan kisahnya. Salam pak semoga semakin sukses pendidikan disana

    BalasHapus
  4. Luar biasa perjuangn dan pengabdian Pak Ramus insyaAllah tercatat jariyah yang pahalanya akan terus mengalir.aamiin

    BalasHapus
  5. Perjuangan luar biasa. Semoga sukses pak Mul

    BalasHapus
  6. Trenyuh membaca cerit perjuangan Bapak dan guru2 honorer yg begitu besar baktinya.

    BalasHapus
  7. Luar biasa perjuangannya. Kesulitan di daerah saya ternyata belum seberapanya. Salut dengan pengabdian Pak Muladi dan guru-guru di sana.

    BalasHapus
  8. Menginspirasi sekali. Perjuangan yang menjadi pengalaman hidup.
    O, ya. Penulisan kalimat langsungnya perlu diperbaiki ya, Pak.

    Misal: " Pak Mul, saya mau minta tolong" kata pak Kadis.

    BalasHapus
  9. Luar biasa. Kondisi sekolahnya seperti itu tidak banyak guru yang mau mengajar di sana. Luar biasa menancapkan kakinya di sana.

    BalasHapus
  10. Cerita inspiratif. Layak banget jadi bahan pembelajaran untuk kita semua.

    BalasHapus
  11. Masya Allah, luar biasa kisah mereka. Pak Romus dan kawan-kawan guru adalah pahlawan. Merekalah yang sebenarnya BERHAK BERGELAR "PAHLAWAN TANPA TANDA JASA". Semoga kebaikannya dan perjuangan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.

    BalasHapus
  12. Itu yang unknown aku. Mister Beje. Lupa memilih akun waktu publish. Eh ternyata publish dengan akun lain

    BalasHapus