Pengikut

Senin, 16 Agustus 2021

Menyiram Kesabaran


"Sabar itu menenangkan jiwa, ikhlas itu mendamaikan hati. Sabar dan ikhlas mengajarkan kita arti 'memahami'."

Saya tersenyum sendiri melihat status di facebook. Tidak disangka banyak yang memberikan like dan bahkan komentar. Saya mencoba menelusuri status lain, terutama status berupa tulisan-tulisan yang saya posting di facebook. Ternyata kalah banyak dari status yang satu ini. Entah apa yang membuat sahabat maya lebih menyukai status ini. Padahal saya hanya memposting sebuah foto diri dan mobil rush putih dengan view pegunungan yang menawan.  

Di bagian atas foto, saya menuliskan sebuah caption “Napak tilas saat berjibaku dengan lumpur untuk mencapai tempat tugas di desa …….. Sekarang sudah jauh lebih baik”. Mungkin caption inilah yang membuat beberapa sahabat penasaran dan tertarik memberikan komentar. Memang di jalanan tempat saya berfoto banyak kenangan yang mengharu biru saat saya bertugas sebagai kepala SMP di desa. Salah satu kenangan yang sangat membekas adalah saat berlangsungnya proses pembangunan gedung SMP Cahaya hati.

Hari itu, sabtu menjelang sore sekitar pukul setengah empat saya berpamitan kepada rekan sesama anggota komite pembangunan di lokasi proyek pembangunan SMP Cahaya hati (nama sekolah sengaja disamarkan). Ada pak Romi sekretaris komite, dan Santo bendahara komite. Kebetulan saat itu ada konsultan pembangunan Pak Andi. "Pak Andi, saya pulang dulu, nanti Insya Allah hari Senin pagi saya balik lagi", saya menyampaikan rencana kepulangan kepada pak Andi. 

Pak Andi memalingkan wajah lonjongnya ke arahku, "Iya pak Mul",  sahut pak Andi singkat dengan ekspresi datar. Selain di lokasi pembangunan, kami juga menyediakan tempat tinggal khusus buat pak Andi di kota. Itulah mengapa saya menawarkannya pulang ke kota, kebetulan besok hari libur. Pekerja juga libur, sehingga semua anggota komite pembangunan juga bisa beristrahat. 

Sebagai konsultan pak Andi kadang-kadang memang perlu berkoordinasi atau sekedar menyampaikan laporan singkat berkaitan perkembangan proyek pembangunan kepada tim konsultan. Pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukannya  dari desa karena tidak tersedianya jaringan internet maupun listrik. 

"Tapi pak Andi benar tidak mau ikut?",  saya meyakinkan pak Andi. "Tidak, biar saja saya disini, lagi pula sebentar kan orang terima gaji", pak Andi memberikan alasannya. "Oh, iya baik pak Andi, saya kira betul juga itu, nanti pak Andi bantu saya awasi dulu proses pembayaran gaji", saya membenarkan alasan pak Andi.

Sambil menarik kedua tangannya kearah belakang dengan jari-jari yang saling menutup pak Andi mengatakan "Kita gantian saja, nanti kalau pak Mul balik ke sini, saya turun". " Baik Pak Andi, saya pamit ya", saya tidak lagi memaksa pak Andi. "Hati-hati pak Andi" saya mengingatkan. 

Pak Andi adalah orang Makasar yang belum perna ke Tolitoli sebelumya, apalagi di desa Cahaya hati. Dia ditugaskan oleh tim konsultan untuk mendampingi pembangunan SMP Cahaya hati. Saya sebagai ketua komite pembangunan dan pak Andi sebagai konsultan, sehingga boleh dikata kami berdua adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pembangunan SMP Cahaya hati waktu itu. 

Pembangunan SMP Cahaya hati merupakan pembangunan sarana pendidikan yang dibiayai oleh dana bantuan ADB (Asian Development Bank). Skema pembangunan dilaksanakan dalam bentuk swakelola dengan komite pembangunan sebagai pelaksana. Komite pembangunan SMP Cahaya Hati dibentuk berdasarkan SK kepala dinas pendidikan dan kebudayaan Kabupaten yang beranggotakan ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi pengadaan barang. Ketua pembangunan saya sendiri, sekretaris dari unsur pengurus komite sekolah, sedangkan bendahara dan seksi pengadaan barang dari unsur masyarakat desa Cahaya hati.

Mengelola pembangunan sekolah dengan model swakelola bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan energi yang cukup, bukan hanya fisik tetapi juga emosi dan pikiran. Tidak kurang masalah yang muncul harus diselesaikan dengan perdebatan yang menguras emosi. Selain itu kemampuan  komunikasi seperti selalu diuji untuk meyakinkan masyarakat desa yang cenderung mau menang sendiri. Syukur-syukur tidak terjadi kekerasan fisik.

Pelibatan sumber daya sekolah dan masyarakat sekitar sekolah sejatinya bertujuan meningkatkan partisipasi warga, sedemikian sehingga diperoleh kualitas pembangunan fisik sekolah yang terbaik. Namun harapan tersebut kadang tidak dapat dipenuhi karena hadirnya pihak-pihak yang sengaja mencari keuntungan pribadi atau kelompok. 

Situasi inilah yang kemudian membuat pak Andi harus memberikan pengawasan lebih ketat. Kehadiran pak Andi di lokasi pembangunan sedikit banyak membuat kelompok yang ingin mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak baik itu menjadi terbatas. Komite pembangunan sebenarnya cukup sadar adanya peran tokoh tertentu dibalik timbulnya berbagai masalah. Tetapi komite memilih untuk tidak berkonfrontasi. Ibarat bermain layangan, kami harus pandai mengatur kapan harus menarik dan kapan harus bertahan atau mengulur.

Menghadapi situasi yang serba dilematis, komite harus berpikir keras menemukan berbagai strategi dan cara menghindari terjadinya komplik yang dapat mengganggu proses pembangunan. Salah satunya dengan melibatkan kepala Desa. Awalnya kepala Desa hanya dilibatkan sebagai unsur pengawas. Namun, nampaknya cara tersebut belum sepenuhnya mampu menghilangkan berbagai gangguan. Proses pembangunan memang tetap berjalan, tetapi masalah pun hampir setiap hari terjadi. Oleh karena itu, keterlibatan kepala desa sebagai pelaksana kerja di lapangan diharapkan dapat meminimalkan berbagai gangguan tersebut.

Pertimbangan Komite pembangunan sederhana, bahwa melibatkan kepala Desa dalam pekerjaan fisik akan membantu percepatan penyelesaian pembangunan sekaligus menjadi pengendali terhadap timbulnya berbagai masalah. Kepala Desa adalah penanggungjawab tertinggi di Desa tentu akan dihormati oleh seluruh masyarakatnya, khususnya mereka yang sedang bekerja diprogram pembangunan. Sebagai aparat Desa dan pemangku kepentingan, kepala Desa pasti memiliki pandangan yang sama dengan Komite pembangunan, yaitu bersama-sama berupaya mewujudkan sarana pendidikan yang baik di Desa. Sehingga tidak mungkin keterlibatannya berdampak buruk terhadap pelaksanaan pembangunan.

Setelah berpamitan, saya bergegas meninggalkan desa dengan sepeda motor honda. Terlihat awan tebal menggelayut di langit, saya pikir mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Saya sedikit memacu kenderaan meski hanya sebentar. Perjalanan dari Desa Cahaya hati ke kota bukanlah perjalanan yang mudah. Kita harus dapat mengendalikan kenderaan dengan baik jika tidak ingin tergelincir. Tidak ada jalanan aspal, yang ada hanya jalanan tanah becek dan berlubang. Apalagi saat itu, memang sedang musim hujan. Beberapa kali saya harus melalui jalan menanjak, berkelok, licin dan berlumpur. Terkadang motor harus didorong untuk keluar dari kubangan lumpur yang memenuhi jalanan. 

Alhamdulillah, setelah berjibaku dengan jalanan "off road" akhirnya saya sampai juga dirumah dengan selamat. Saya sempat kehujanan ketika akan memasuki wilayah kota, tapi syukur belum terlalu deras. Saya lihat jam tangan coklat yang kacanya berembun, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 18 lebih 10 menit. Lebih dari dua jam perjalanan saya lalui menempuh jarak kurang lebih 40 km. Pantas saja saya sedikit kelelahan. Setelah mandi dan berganti pakaian, saya shalat magrib bersama anak-anak di ruang tengah rumah. Beberapa menit kemudian, saya sudah duduk di sofa sambil minum teh hangat buatan istri. Remote TV yang tergelatak begitu saja di atas meja menjadi sasaran. Tidak menunggu lama jari-jemari saya sudah memainkan tombol remote mencari saluran berita tv one. 

Semuanya terasa damai dan nyaman sampai sekonyongkonyong terdengar orang mengetuk pintu. "Tok.. tok.. tok.. Assalamualaikum, suara orang memberi salam. "Waalaikum salam", saya menjawab salam tanpa meninggalkan sofa. Saya berdiri bermaksud membuka pintu, tapi istri sudah lebih dulu. "Pak, ada tukang dari sekolah pak", suara istri memberitahukan kedatangan tamu. " Iya, masuk pak... oh... pak Pulu, masuk pak". 

Pak Pulu adalah salah satu tukang andalan kami pada waktu itu. Beliau memiliki keahlian yang sangat baik sebagai tukang. Selain rapih dalam bekerja, dia juga termasuk cekatan dan disiplin. Keahlian tersebut membuat kami meminta pak Pulu membatu kami menyelesaikan pembangunan sekolah. Tapi kali ini pak Pulu tiba-tiba muncul dengan sedikit panik. Saya menangkap kepanikan dimatanya yang sedikit liar, "Ada apa pak Pulu?" saya bertanya. 

"Pak Mul, kalau bisa bapak sekarang ke lokasi pak" kenapa pak Pulu" saya mendesaknya menceritakan apa yang terjadi. Dengan sedikit emosional, pak Pulu menceritakan apa yang terjadi saat penerimaan gaji (pembayaran upah kerja) hari itu. Menurut pak Pulu kepala Desa bersama "gengnya" mengamuk sambil menghancurkan properti yang ada di direksi kit. Uang yang hendak digunakan untuk membayar upah pekerja berhamburan memenuhi ruangan yang berukuran 2,5 meter x 3 meter yang menjadi kantor komite pembangunan. 

Demikian juga dengan kursi plastik dan meja plastik yang digunakan sebagai perabotan direksi kit hancur berkeping-keping diinjak-injak dan dibanting oleh sekelompok orang bersama oknum kepala Desa. Papan pengumuman yang biasa digunakan untuk memajang gambar dan pengumuman, tidak terkecuali hancur berantakan tak bersisa. Ceceran kaca bertebaran di sana sini memenuhi ruangan. Bahkan balon lampu satu-satunya yang tersedia di ruangan itu ikut terpental entah kemana. Terlihat wajah geram menahan emosi dari pak Pulu saat menceritakan kejadian tersebut. 

Tukang dan pekerja yang bukan warga desa Cahaya hati yang saat itu sedang menunggu pembayaran upah, memilih menyelamatkan diri meninggalkan lokasi kerja, termasuk pak Pulu. Menurut pak Pulu, situasi malam itu benar-benar kacau. Kejadian yang diluar nalar itu, seperti mendapat dukungan alam yang juga turut memburuk. Ditengah hujan deras yang mengguyur desa Cahaya hati, membuat banjir tidak lagi terhindarkan. Akibatnya area disekitar direksi kit yang menjadi arena kekacauan turut kebanjiran, menambah situasi semakin mencekam.   

Benar-benar kejadian yang luar biasa dan berada diluar akal sehat, saya sempat sok mendengar cerita pak Pulu. Untunglah saya segera dapat menguasai diri. Ada emosi memuncak untuk segera membalas perbuatan mereka, namun saya segera menenangkan diri. Saya pikir tak ada gunanya menghadapi orang-orang seperti itu dengan kekerasan, hanya akan memperburuk masalah. Saya bilang ke pak Pulu, "Ya sudahlah, pak Pulu istrahat saja dulu, nanti kalau semuanya sudah tenang akan saya kabari". Pak Pulu akhirnya berpamitan pulang.  

Sambil membayangkan kejadian yang diceritakan oleh pak Pulu, saya mencoba mencari tindakan yang paling tepat yang harus saya lakukan. Sebetulnya saya juga tidak habis pikir, bisa-bisanya seorang kepala Desa mempelopori tindakan anarkis begitu, apa sebenarnya yang terjadi. Berbagai pertanyaan silih berganti mengisi ruang logika saya. Tapi saya tidak menemukan alasan itu. 

Sebenarnya pak Pulu meminta saya untuk segera kembali ke lokasi pembangunan malam itu. Tetapi selain sudah malam dan hujan, saya pikir pergi ke lokasi malam hari tidak akan menyelesaikan masalah. Namun saya berjanji pada pak Pulu, setelah shalat subuh saya akan ke lokasi untuk melihat langsung kejadian dan mengetahui duduk permasahannya.

Dari masjid dekat rumah terdengar suara shalawat dilantunkan melalui pengeras suara pertanda sebentar lagi masuk waktu subuh. Ternyata istri sudah lebih dulu bangun. Saya menuju kamar mandi. Sejurus kemudian saya sudah duduk di sofa seperti biasa sambil menunggu waktu shalat subuh. Pikiran saya saat itu sudah jauh berada di lokasi pembangunan. Saya terus membayangkan apa yang terjadi.

Tak terasa waktu shalat subuh masuk. Langsung saja saya ajak istri shalat berjamaah subuh. Anak-anak belum juga bangun, mungkin mereka kelelahan bermain seharian. Selesai shalat, istri menawarkan nasi goreng kesukaan saya. " Ma, setelah ini saya berangkat ya?", saya menyampaikan rencana ke lokasi kerja. "Apa tidak berbahaya itu pa, jangan-jangan mereka masih marah?" sahut istri begitu khawatir atas rencana saya. "Tidak apa-apa, Insya Allah kalau kita tawakal, Allah akan menolong", saya meyakinkan istri. 

Setelah berpamitan saya berangkat ke lokasi dengan motor honda yang masih menyisakan lumpur. Sejujurnya dalam hati ada juga rasa khawatir dan takut atas apa yang terjadi. Tetapi semakin mendekati lokasi pembangunan keberanian itu terus tumbuh. Boleh dikata saya sedikit nekat. Dalam hati saya berkata jika takdirku memang harus berhadapan secara fisik dengan orang-orang ini, maka saya siap apapun resikonya.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam akhirnya saya memasuki area lokasi pembangunan di Desa Cahaya hati. Disebelah kiri jalan menuju lokasi pembangunan, tepatnya di depan rumah seorang warga, terlihat sejumlah warga desa sedang berkumpul. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Entah apa yang bicarakan warga. Tapi saya menduga pasti mereka sedang membicarakan kejadian semalam. 

Belum lagi saya memberikan salam, dengan angkuhnya salah seorang warga yang saya ketahui sebagai pemilik rumah langsung menghardik, "Ke sana, jangan singgah disini", teriaknya sambil menunjuk ke arah sekolah. Saya sendiri sempat kaget karena tidak menduga akan sambutan yang tidak simpatik itu. 

Mendengar teriakan itu saya pura-pura saja tidak mendengar. Saya langsung menuju direksi kit. Dari luar saya melihat masih ada bekas banjir semalam. Disana-sini lumpur dan ceceran sampah masih menempel dibeberapa bagian direksi kit. Saya masuk ke dalam, astagfirullah, benar saja apa yang diceritakan oleh pak Pulu ternyata benar. Pecahan kaca, serpihan kursi dan meja plastik yang sudah tidak lagi utuh masih tergeletak begitu saja di lantai.

Saat itu saya hanya sendiri. Tidak ada anggota komite yang lain. Saya berpikir mungkin mereka masih takut, karena yang membuat keributan ini adalah kepala Desa dan gengnya. Saya menyebutnya geng karena istilah itu lebih layak dan cocok dengan perbuatan yang mereka lakukan. Saya juga tidak melihat pak Andi. Entah dimana dia saat itu. Saya hanya berdoa semoga saja pak Andi baik-baik saja. 

Saya tarik kursi kayu yang tergeletak disudut ruangan dengan posisi terjungkal. Kelihatannya masih bagus, mungkin karena terbuat dari kayu mereka tidak berhasil menghancurkannya. Saya duduk di kursi kayu itu sambil terus menimbang-nimbang, tindakan apa yang akan saya ambil. Menurut saya tindakan ini tidak bisa dibiarkan, karena  sudah menjurus pada tindakan teror dan pengrusakan fasilitas milik pemerintah. 

Sambil menarik nafas dalam-dalam, saya pejamkan mata. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dada, sedih, emosi, marah, khawatir terus berseliweran mempengaruhi otak saya. Dalam hati saya bertanya, apakah saya dapat menyelesaikan pembangunan ini? Bagaimana kalau semua pekerja berhenti? Lalu kalau tidak selesai bagaimana? apakah saya akan diproses hukum karena dianggap lalai menyelesaikan pembangunan? berbagai pikiran buruk muncul dalam benak. Saya pun masih bingung menentukan tindakan yang harus diambil menghadapi masalah ini. Hampir setengah jam saya berdiam diri di dalam direksi kit itu. Tapi sampai detik itu belum ada seorang pun anggota komite atau warga yang datang menyapa. 

Lalu tiba-tiba dari arah jalan raya saya melihat kepala Desa dan salah seorang yang diduga pelaku perusakan datang berjalan ke arah direksi kit. Dalam hati saya mengatakan, "Jika kehendak Allah, saya harus berhadapan secara fisik, maka saya akan hadapi secara fisik meskipun saya pasti kalah" pikiran itu datang begitu saja. Apa boleh dikata, karena sampai detik itupun belum ada seorang pun yang menemani. Lalu bagaimana jika mereka ingin berdamai apa yang harus saya lakukan? 

"Assalamualaikum" terdengar suara pak kepala Desa dari arah pintu. "Waalaikumsalaam" saya menjawab singkat. "Mari duduk" saya mempersilahkannya duduk, meskipun tidak ada kursi lain yang tersisa selain kursi yang saya duduki. Sejurus kemudian pengawalnya masuk. Karena tidak ada kursi lain yang tersisa keduanya hanya berdiri. 

Ada sedikit rasa lega karena ternyata keduanya datang tidak dengan emosi. Mungkin karena emosi mereka sudah terlampiaskan semalam. Saya sedikit berbasa-basi dengan meminta maaf karena tidak dapat menyediakan kursi. Tapi rupanya perkataan saya itu dianggap sebagai sindiran. Pak kepala Desa langsung meminta maaf, "Minta maaf ini pak, tadi malam itu kami khilaf", saya sendiri sebenarnya tidak menduga kalau dia akan meminta maaf secepat itu. "Iya pak, ini sebenarnya hanya salah paham", sang preman pengawal turut menimpali. 

Dalam hati saya merasa menang setelah sebelumnya saya berpikir tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Saya benar-benar merasakan kekuasaan Allah sedang berlangsung saat itu. Disaat orang lain mungkin ketakutan dan berpikir tentang hal buruk akan menimpa saya. Nyatanya, sang kepala Desa serrta preman pengawalnya justru tunduk tak berkutik. Kesempatan tersebut saya gunakan untuk menggali akar permasalahan sehingga timbulnya peristiwa tersebut. 

Dari cerita pak Kepala Desa, saya ketahui bahwa masalah pemicunya adalah soal upah yang dibatasi pembayarannya oleh konsultan. Menurut konsultan pembayaran upah mereka sudah melampaui progres kerja, sehingga perlu dikendalikan. Keputusan ini rupanya tidak dapat diterima oleh pak kepala Desa sebagai "pemborong" di salah satu unit bangunan. Pak kepala Desa bersama "gengnya" memaksa agar pembayaran upah harus sesuai dengan permintaan mereka. Akibatnya situasi menjadi memanas, dan terjadilah keributan tersebut yang berakhir dengan pengrusakan.

Karena keduanya sudah mengakui kekeliruannya dan meminta maaf, saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Otak saya tiba-tiba saja menjadi cerdas. Saya pikir, ada baiknya keduanya saya manfaatkan saja, mumpung kartu "AS" mereka sedang saya pegang. Bagaimana pun pak kepala Desa pasti masih memiliki pengaruh kuat terhadap warganya. Dengan memanfaatkan pak kepala Desa sebagai jaminan keamanan, maka saya pikir proses pembangunan akan berjalan lancar. Disisi lain, mereka tak mungkin lagi berani berbuat onar karena hal itu pasti akan berdampak buruk bagi mereka.

Saya memang sedikit mengancam kepada kepala Desa dan gengnya bahwa saya dapat saja melaporkan mereka ke polisi atas tindakan brutal mereka. Saya katakan kepada mereka bahwa saya kenal baik dengan bapak Kapolsek yang kebetulan tetangga saya. Jadi cukup dengan menelpon saja pak Kapolsek pasti langsung bertindak. Apalagi pak Kapolsek perna berjanji, "Jika nanti ada apa-apa, nanti pak Mul telpon saja, nanti langsung saya sel saja mereka sampai pembangunan selesai". 

Nah, disinilah kemenangan saya. Saya menerima permintaan maaf pak kepala Desa dan gengnya. Tetapi keduanya juga saya minta untuk tidak lagi terlibat dalam kegiatan pembangunan. Jadi unit bangunan yang sebelumnya dikuasai oleh kepala Desa sebagai "pemborong" dikembalikan kepada Komite sebagai penanggungjawab. Pak kepala Desa dan gengnya tidak lupa saya minta untuk menjamin keamanan pembangunan sampai selesai.

Dari kejadian tersebut saya mengambil pelajaran, bahwa jika kita sabar dan meyakini bahwa tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin Allah, maka Insya Allah semua akan selesai dan berubah menjadi kemenangan. 

Sejak kejadian itu, proses pembangunan SMP Cahaya hati akhirnya berjalan aman dan nyaman. Gangguan-gangguan yang sebelumnya sering terjadi, setelah peristiwa itu, sudah tidak ada lagi. Masyarakat pun terlihat lebih ramah dan dapat menerima pekerja yang berasal dari luar desa. Setelah kurang lebih 6 bulan proses pembangunan berjalan, akhirnya bangunan megah SMP Cahaya hati berdiri. SMP Cahaya hati benar-benar menjadi kebanggaan masyarakat Desa Cahaya hati.

Tolitoli, 17 Agustus 2021

Muliadi

 

 


 


7 komentar:

  1. Serem sekali ceritanya. Jadi penasaran kelanjutan ceritanya. Bisa jadi novel itu, Pak.

    BalasHapus
  2. Aduh, masih ada ya oknum seperti kades? Bukannya seneng ada sekolah di wilayahnya. Eh ini malah

    BalasHapus
  3. Seperti sudah membaca sebuah karya, bisa menjadi tulisan yang di angkat dari kejadian nyata...

    BalasHapus
  4. Lanjutkan Saudaraku, aku ikut termotivasi untuk menulis

    BalasHapus
  5. Membaca untuk kedua kalinya. Nah ... ini baru melegakan. Happy ending. Selamat kepada SMP Cahaya. Semoga cahayanya dapat menerangi seluruh jagat raya.

    BalasHapus