Pengikut

Rabu, 25 Agustus 2021

Perlukah Intervensi Pada Link And Match?

Sumber: Media Indonesia

Akhir-akhir ini Kemendikbud tengah meluncurkan program SMK PK atau SMK Pusat Keunggulan. SMK PK menurut definisi Kemendikbud sendiri merupakan program pengembangan SMK dengan kompetensi keahlian tertentu dalam peningkatan kualitas dan kinerja, yang diperkuat melalui kemitraan dan penyelarasan dengan dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja, yang akhirnya menjadi SMK rujukan yang dapat berfungsi sebagai sekolah penggerak dan pusat peningkatan kualitas dan kinerja SMK lainnya.

SMK PK adalah SMK yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten pada kompetensi keahlian tertentu dan terserap di dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja serta dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, melalui program penyelarasan pendidikan vokasi secara sistematik dan menyeluruh dengan dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja.Target akhir dari program ini adalah menjadikan SMK rujukan yang dapat berfungsi sebagai pusat keunggulan, peningkatan kualitas dan rujukan bagi SMK lainnya.

Mencermati profil SMK PK di atas, nampaknya pemerintah melalui kemendikbud akan memperkuat upaya keterserapan alumni SMK ke dunia usaha industri, dan dunia kerja melalui revitalisasi program link and match. Konsep link and match sebenarnya bukan program baru, program ini sudah ada sebelum kurikulum paradigma baru hadir. Sejak tahun 1993 gagasan link and match telah menjadi isu bersama antara mendikbud Wardiman Djojonegoro dengan menaker Abd Latif. Gagasan tersebut kemudian secara operasional dilaksanakan dalam bentuk pembelajaran sistem ganda (Dual system)  atau magang di SMK. Sehingga pendidikan sistem ganda (PSG) atau prakerin yang selama ini dilaksanakan oleh SMK sebenarnya merupakan bentuk implementasi program link and match.

Selanjutnya upaya-upaya penyelasaran antara SMK dengan industri terus dilakukan melalui berbagai program unggulan kemendibud, seperti SMK Model, SMK RSBI, dan lain-lain. Semuanya bertujuan memperkuat konektivitas antara program pembelajaran di SMK dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia usaha dan industri (Dudi). Tujuannya tiada lain agar alumni SMK dapat terserap dan mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja di dudi. Untuk itu, SMK dan dudi diharapkan dapat duduk bersama mengembangkan kurikulum yang adaptif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

Namun program yang sangat baik ini, belum sepenuhnya berhasil. Bahkan bisa jadi lebih banyak yang gagal. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah SMK yang belum memiliki kurikulum bersama dudi yang implementatif. Selain itu, data BPS yang dimuat pada Vocational Education Policy, White Paper, Volume 1 Nomor 9 Tahun 2019 menunjukkan tingkat pengangguran SMK dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan. 
 
Dari data di atas, terlihat dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2018 kontribusi pengangguran lulusan SMK terus meningkat. Bisa jadi trend ini terus naik, terutama sejak pandemi melanda negeri. Tingginya tingkat pengangguran juga menjadi indikator belum selarasnya kurikulum SMK dengan dudi. 

Melihat kenyataan tersebut, maka cukup rasional jika penguatan penyelarasan kurikulum SMK terus dilakukan. Tetapi jangankan membuat kurikulum bersama dudi, sekedar membuat MOU dengan dudi saja masih banyak SMK yang kesulitan.  Beberapa usaha telah dilakukan oleh SMK, baik yang terkait langsung dengan program dari kemendikbud maupun dengan inisiatif sendiri. Mulai dari melakukan upaya negosiasi dan lobi-lobi dengan dudi sampai dengan upaya yang melibatkan dinas terkait sebagai fasilitator. Tetapi semuanya seperti menemui jalan buntu.

Suatu ketika, SMK-SMK seSulteng perna dikumpulkan bersama dudi. Pertemuan ini difasilitasi oleh dinas pendidikan provinsi Sulawesi Tengah. Tujuan utamanya membantu SMK menemukan mitra dudi sekaligus membuat MOU. Tetapi apa yang terjadi? Jangankan MOU, dudi yang hadir saja boleh dikata nihil. Satu-satunya dudi yang hadir hanya perwakilan salah satu BUMN, itupun hanya perwakilan yang tidak refresentatif membuat MOU. Alhasil, upaya tersebut juga gagal. Tidak satupun SMK yang berhasil membuat MOU.

Satu pengalaman lagi, suatu saat SMKN di kota penulis mendapat program pengembangan SMK. Salah satu kegiatannya adalah menyusun kurikulum bersama antara SMK dengan dudi. Lagi-lagi hasilnya tidak menggembirakan. Perwakilan dudi yang seharusnya menjadi fasilitator dan membantu SMK menyusun kurikulum, ternyata hanya mengirimkan wakil yang tidak begitu kompeten. Hasilnya, kurikulum yang diharapkan menjadi jembatan antara SMK dengan dudi akhirnya tidak seperti yang diharapkan. Kembali lagi penyelarasan kurikulum tidak berhasil.

Lalu mengapa program link and match antara SMK dan dudi seperti jalan ditempat? berdasarkan penilaian penulis, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain:
  1. Tidak banyak dunia usaha dan industri yang mau bekerja sama dengan SMK. Jangankan swasta, BUMN saja masih banyak yang enggan. SMK belum dianggap sebagai mitra sejajar dengan dudi, apalagi menguntungkan. Akibatnya SMK ketika mengajukan diri untuk bekerja sama, lebih dipandang sebagai "pengemis" dari pada sebagai mitra kerja strategis. Kondisi ini menyebabkan SMK sulit menjalin kerjasama dengan dudi, apalagi membuat MOU. Kalaupun ada MOU, itu umumnya bersifat formalitas dan belum menyentuh substansi, sehingga sering kali MOU tidak mengikat dudi sebagai para pihak. Karena tidak ada dudi yang benar-benar menjadi mitra, maka kurikulum pun tidak ada yang dapat diselaraskan. 
  2. Keragaman jurusan SMK kebanyakan tidak sesuai dengan keberadaan dudi di suatu daerah. Akibatnya, kebanyakan SMK harus mencari dudi yang jauh dari tempatnya berada. Pada kondisi seperti itu, sulit bagi SMK membangun kemitraan secara "permanen" dengan dudi, karena dudi di daerah tersebut harus pula melayani SMK yang ada di daerahnya. Hal inipun cenderung menggagalkan program link and match.   
  3. Idealnya jurusan SMK dibuka sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang tersedia di suatu daerah. Karena alumni SMK sengaja diproyeksikan untuk bekerja di dudi yang ada di daerah itu. Tetapi problemnya, banyak jurusan SMK dibuka tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di daerah. Akibatnya kebanyakan alumni SMK tidak bisa bekerja, atau kalau bekerja mereka bekerja tidak sesuai dengan jurusan. Artinya tidak match lagi.
  4. Jumlah siswa SMK jauh lebih banyak dari pada kebutuhan industri. Sehingga untuk melayani pada kegiatan prakerin saja ini sudah menjadi masalah tersendiri. Bagaimana mau membangun kemitraan yang selaras dengan dudi.
Jika kemitraan tidak terjalin, otomatis link and match dengan dudi sulit diwujudkan. Kegagalan tersebut akhirnya memberikan dampak ikutan sehingga menambah lagi permasalahan SMK, seperti ketidaksesuaian kompetensi alumni dengan kebutuhan dudi. Berlimpahnya alumni SMK yang tidak terserap dalam dudi. Beban biaya bagi orang tua menjadi sangat besar akibat program prakerin yang nyatanya seperti tidak banyak memberikan manfaat.

Berdasarkan pengalaman tersebut, maka menurut hemat penulis, untuk mem push program penyelarasan kurikulum SMK dengan dudi, ada baik baiknya pemerintah melakukan intervensi lansung terhadap dudi. Pemerintah harus membantu SMK menemukan mitra dudi yang cocok dan memastikan bahwa dudi tersebut mau bekerjasama dengan SMK sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan SMK. SMK tidak dapat dibiarkan melakukan sendiri, karena SMK tidak memiliki bargaining position yang memadai untuk menjalin kerjasama dengan dudi. Jika hal ini tidak dilakukan, hampir dapat dipastikan program link and match akan gagal lagi.

Dirjend Vokasi Wikan Sakarinto sangat menyadari pentingnya link and match ini. Sehingga beliau memberikan setidaknya lima syarat agar link and match antara pendidikan vokasi dan dunia industri dapat terjadi, yaitu:
  1. Pembuatan kurikulum bersama, dan disinkronisasi setiap tahun
  2. Pihak industri wajib memberikan guru atau dosen tamu, minimal untuk 50 jam mata pelajaran
  3. Pemberian magang kepada siswa SMK vokasi dari industri yang dirancang bersama, minimal 6 bulan
  4. Sertifikasi kompetensi, untuk menunjukan level kompetensi lulusan vokasi
  5. Komitmen menyerap lulusan sekolah vokasi oleh industri
Lebih jauh pak Dirjend menegaskan, link and match antara pendidikan vokasi dan industri tidak hanya sekadar tanda tangan Mou, foto-foto kemudian masuk koran. Ia menganalogikan pada hubungan dua orang yang sedang berpacaran dan sampai pada jenjang menikah. 

Analogi menikah tentu sangat ideal bagi SMK dan dudi. Hal ini mengisyaratkan sebuah hubungan timbal balik yang saling mengikat di antara keduanya. Tetapi hubungan demikian hanya dimungkinkan jika SMK dan dudi berada pada level yang setara dan saling menguntungkan dari sisi kepentingan. Tentu saja bagi SMK kehadiran dudi, sangat menguntungkan. Tetapi bagaimana dengan dudi, keuntungan apa yang bisa diperoleh? Justru disinilah titik krusialnya. Oleh sebab itu, kehadiran pemerintah sangat diperlukan untuk "memaksa" dudi agar mau menjadi mitra SMK dan melaksanakan link and match sesuai syarat-syarat di atas. 

Tolitoli, 25 Agustus 2021
Muliadi

3 komentar:

  1. Sangat memprihatinkan ya kondisinya. Betul pemerintah harus turut campur

    BalasHapus
  2. DUDI pastilah profit oriented. SMK harus sering melakukan promosi Pak, agar bisa dikenal. Misalnya, mengikuti even yang diselenggarakan oleh DUDI seperti lomba, dll. Tujuannya agar mereka mengetahui potensi siswa SMK. Dengan demikian, mereka menjadi yakin dengan keberadaan SMK sebagai calon mitra. Yang lain-lain, menyusul dengan senidirinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar bu Ros, masalahnya dudinya kalah banyak dengan SMK. Belum lagi soal jurusan yang lebih banyak mengandalkan instansi pemerintah sebagai mitra. Apa yang bisa diharapkan dari instansi pemerintah dalam merekrut alumni SMK?

      Hapus