Pengikut

Kamis, 19 Mei 2022

Idealisme Kok Jadi Masalah

Suatu ketika saya mengikuti rapat dewan guru yang dilaksanakan oleh sekolah kami. Pada rapat itu dibahas banyak hal termasuk soal KKM (kriteria ketuntasan minimal). KKM kita semua sudah paham merupakan batas kompetensi minimal yang harus dicapai oleh siswa atau peserta didik pada suatu mata pelajaran atau kompetensi dasar tertentu. Batas minimal ini di wujudkan dalam bentuk angka atau nilai hasil belajar misalnya 70, 75, atau lainnya.

Diskusi menjadi seru ketika saya mulai memberikan pandangan yang berbeda dengan arus pandangan umum peserta rapat. Setidaknya ada dua hal pokok yang disampaikan yang menurut saya pada konteks itu tidak tepat adanya. 

Yang pertama adalah soal waktu penetapan KKM. KKM baru mau ditetapkan menjelang rapat kenaikan kelas. Padahal KKM idealnya ditetapkan di awal tahun ajaran dan disampaikan kepada siswa sebagai "kontrak belajar". Tujuannya tidak lain agar siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik karena menyadari ada target belajar yang harus dipenuhi. 

Yang kedua adalah soal nilai KKM. Nilai KKM sebelum terbitnya panduan penilaian hasil belajar dan pengembangan karakter pada SMK ditentukan dengan prosedur tertentu dan mempertimbangkan 3 indikator, yaitu intake siswa, daya dukung, dan kompleksitas materi. Dengan menggunakan skala tertentu, nilai KKM kompetensi dasar dan KKM mata pelajaran ditentukan. 

Namun setelah terbitnya panduan penilaian tersebut yang diikuti oleh terbitnya edaran direktur pembinaan SMK tanggal 17 Januari 2019, maka semua SMK di Indonesia baik negeri maupun swasta wajib menggunakan panduan penilaian hasil belajar dan pengembangan karakter pada SMK tersebut. Perintah tersebut tegas sebagaimana tertulis pada point 5 surat edaran direktur pembinaan SMK nomor 0820/D5.3/TU/2019.

Salah satu perubahan mendasar pada panduan tersebut adalah soal penetapan nilai KKM. Dalam hal ini KKM tidak lagi dihitung berdasarkan kriteria atau indikator tertentu sebagaimana sebelumnya. Tetapi sudah ditetapkan dengan batasan sebagai berikut: untuk mata pelajaran adaptif dan normatif nilai KKM adalah 60. Sedangkan untuk mata pelajaran kejuruan adalah 65 (Panduan penilaian SMK hal.56)

Nah, disinilah debat seru yang memunculkan diksi idealisme itu muncul. Saya mengingatkan peserta rapat agar tidak perlu menetapkan KKM baru, karena KKM sudah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi sudah ada ketegasan dari bapak direktur soal kewajiban mengikuti panduan. Namun anehnya saran tersebut mendapat perlawanan cukup keras. 

Lalu ketika ditanya mengapa mereka begitu khawatir dengan KKM 60 dan 65 yang ditetapkan dalam panduan?. Alasannya cukup menyentuh sisi emosional, yaitu:

  1. Jika mengikuti KKM 60 dan 65 dikhawatirkan nilai siswa akan rendah. 
  2. Jika nilai siswa rendah, maka siswa akan mengalami masalah ketika masuk perguruan tinggi. 
  3. Masa depan siswa akan terganggu karena tidak dapat mendaftar pada jabatan tertentu yang mensyaratkan nilai minimal 70, 75, atau 80.
  4. Nama baik sekolah akan jatuh, dan seterusnya
Dari diskusi panas ini akhirnya saya paham bahwa KKM tidak semata-mata menjadi batas minimal pencapaian kompetensi. Tetapi lebih dari itu telah KKM dimanfaatkan sebagai instrumen "pendongkrak" nilai siswa. Kompetensi tidak lagi penting, yang penting adalah nilainya tinggi. Maka jadilah jorjoran penetapan nilai KKM yang setinggi-tingginya. Nilai KKM yang tinggi bahkan menjadi semacam representasi mutu sekolah. Sekolah yang tinggi KKM nya berarti sekolah yang bermutu. Sementara sekolah yang KKM nya rendah di anggap kurang bermutu.

Saya berusaha mempertahan pandangan saya tentang pentingnya mengikuti panduan penilaian yang baru, justru dianggap terlalu ideal. Idealnya memang mengikuti aturan, tapi kenyataannya itu tidak dapat diterapkan. Kalau diterapkan maka nilai siswa akan rendah, dan seterusnya akan berdampak pada penilaian mutu sekolah. Demikian kira-kira alasan mereka yang mempertahankan KKM di atas 65 seperti selama ini dilakukan. 

 

 


0 comments:

Posting Komentar