Pengikut

Senin, 11 Agustus 2025

Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

 Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

Refleksi Perjalanan Pendidikan di SMKN 1 Galang



Tolitoli, 11 Agustus 202

Bayangkan sebuah kelas di mana jam dinding berdetak lambat, siswa menunggu dengan gelisah, tapi guru datang terlambat seolah itu hal biasa. Tak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya, seolah waktu siswa bukanlah harta berharga. Lalu, saat pelajaran berakhir, ia buru-buru pulang, meninggalkan tumpukan pertanyaan siswa yang menggantung. Izin mendadak? Oh, itu seperti rutinitas harian, tanpa memikirkan apa yang terjadi pada siswa yang ditinggalkan sendirian di kelas. Mengajar pun jadi autopilot: tanpa evaluasi, tanpa refleksi, tanpa khawatir apakah ilmu itu benar-benar terserap atau tidak.

Ini bukan cerita fiksi dari novel distopia pendidikan. Ini adalah gambaran nyata yang sering kita lihat di sekolah-sekolah hari ini. Pertanyaan besarnya: Apa yang hilang dari diri seorang guru dalam dunia pendidikan modern? Mari kita kupas tuntas dalam artikel ini, dengan harapan bisa membangkitkan semangat para pendidik untuk kembali ke akarnya.

1. Rasa Tanggung Jawab: Fondasi yang Retak

Ingat saat kecil, guru adalah sosok seperti pahlawan super yang selalu tepat waktu, siap membimbing kita melewati labirin pengetahuan? Sayangnya, hari ini, banyak guru yang datang terlambat atau pulang cepat tanpa beban. Yang hilang di sini adalah rasa tanggung jawab yang seharusnya menjadi DNA seorang pendidik.

Bayangkan jika seorang pilot pesawat cuek dengan jadwal terbang—penumpang pasti panik! Begitu juga dengan guru: setiap menit di kelas adalah peluang emas untuk membentuk masa depan. Tanpa dedikasi ini, pendidikan jadi seperti pabrik massal, bukan tempat tumbuh kembang. Guru yang baik seharusnya merasa gelisah jika siswa kehilangan waktu belajar, karena itulah esensi profesi ini: sebuah panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan 9-to-5.

2. Empati: Hati yang Mati Rasa

"Guru izin hari ini, kelas libur!" Kata-kata itu mungkin terdengar biasa bagi siswa, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Siswa yang tertinggal mungkin kehilangan motivasi, atau bahkan merasa ditinggalkan. Di sinilah empati hilang dari diri guru.

Empati bukan sekadar kata manis dalam buku psikologi; itu adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan siswa. Saat guru mengambil izin tanpa memikirkan dampaknya—seperti "tidak ada kekhawatiran apa yang terjadi dengan siswa yang ditinggalkan"—pendidikan kehilangan sisi humanisnya. Siswa bukan robot yang bisa dipause; mereka manusia dengan emosi, mimpi, dan kebutuhan. Guru yang empati akan bertanya: "Bagaimana jika siswa saya butuh bimbingan hari ini?" Tanpa itu, kelas jadi tempat dingin, bukan rumah kedua yang hangat.

3. Refleksi Diri: Cermin yang Berdebu

Mengajar tanpa khawatir apakah siswa berhasil atau gagal? Tak ada evaluasi, tak ada refleksi? Ini seperti mengemudikan mobil tanpa melihat spion—berbahaya! Yang hilang adalah sikap reflektif, di mana guru seharusnya selalu mengevaluasi dirinya sendiri.

Dalam pendidikan ideal, setelah setiap pelajaran, guru bertanya: "Apa yang berhasil? Apa yang perlu diperbaiki?" Ini bukan soal perfeksionisme, tapi tentang pertumbuhan. Tanpa refleksi, mengajar jadi rutinitas membosankan, tanpa inovasi. Siswa zaman sekarang butuh metode kreatif—video interaktif, diskusi kelompok, atau teknologi AI—bukan ceramah monoton. Hilangnya refleksi membuat pendidikan stagnan, seperti sungai yang tak mengalir, akhirnya mati suri.

4. Etika dan Integritas: Moral yang Luntur

Akhirnya, yang paling krusial adalah etika profesional dan integritas. Saat izin jadi alasan mudah untuk menghindari tanggung jawab, atau mengajar tanpa passion, itu menunjukkan prioritas pribadi di atas kewajiban moral. Guru seharusnya punya rasa bersalah jika melalaikan tugas, karena mereka adalah role model bagi siswa.

Bayangkan siswa meniru sikap ini: datang terlambat ke sekolah, cuek dengan tugas. Akibatnya? Generasi yang kurang bertanggung jawab. Etika membuat profesi guru mulia; tanpanya, itu hanya pekerjaan biasa. Guru yang berintegritas akan selalu ingat: "Saya bukan hanya mengajar mata pelajaran, tapi membentuk karakter."

Dampak Besar dan Jalan Keluar

Hilangnya elemen-elemen ini bukan hanya masalah individu, tapi bencana bagi sistem pendidikan. Siswa kehilangan motivasi, kualitas lulusan menurun, dan masyarakat akhirnya menderita karena kurangnya pemimpin berkualitas. Tapi, ada harapan! Guru bisa kembali ke jiwa pendidik autentik melalui pelatihan refleksi diri, dukungan dari institusi seperti supervisi rutin, dan ingat visi awal: pendidikan sebagai alat pemberdayaan.

Para guru, mari introspeksi: Apa yang membuat Anda memilih profesi ini? Kembalikan rasa tanggung jawab, empati, refleksi, dan etika itu. Siswa Anda menunggu pahlawan mereka kembali. Dan bagi kita semua, dukunglah pendidik dengan apresiasi yang layak—karena masa depan ada di tangan mereka.

Apa pendapat Anda? Bagikan pengalaman di kolom komentar, dan mari bangun pendidikan yang lebih baik bersama!

0 comments:

Posting Komentar