Pengikut

1000 Guru Motivator Literasi

Segera Daftarkan Diri Anda.

Lintas Pagi Spirit RRI Tolitoli

Diskursus Penguatan Nilai-Nilai Pancasila di dalam Kehidupan Sehari-hari.

Dialog Lintas Pagi RRI Tolitoli

Guru Kontrak atau PPPK Menjadi Harapan Terakhir bagi para Honorer, ketika batasan usia dan kuota tidak lagi dipenuhi.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 27 Agustus 2025

Aneh

 Rabu, 27 Agustus 2025.

Hari itu, saya melangkah ke sebuah kelas dengan perasaan biasa saja, tanpa firasat apa pun. Namun, apa yang saya temukan di dalamnya benar-benar di luar dugaan.

Seorang guru duduk di depan kelas, matanya terpaku pada layar ponsel. Tidak ada suara penjelasan, tidak ada diskusi, hanya keheningan yang aneh. Sementara itu, beberapa siswa juga sibuk dengan HP mereka sendiri. Saya tak bisa menebak, apakah mereka sedang membaca materi, mengerjakan tugas, atau justru bermain game. Yang pasti, suasana kelas itu lebih mirip ruang tunggu ketimbang ruang belajar.

Namun yang paling mengejutkan bukanlah itu. Di sudut ruangan, empat atau lima siswa terlihat berbaring santai di lantai. Ada yang merebahkan diri seolah berada di rumah, bahkan salah satu di antaranya melepas seragamnya, bertelanjang dada di tengah pelajaran. Pemandangan itu membuat langkah saya seketika terhenti.

Saya menatap sang guru, menunggu reaksi. Tapi tidak ada. Wajahnya datar, seakan-akan semua itu adalah hal biasa. Dengan nada datar pula ia menjawab pertanyaan saya:

“Pelajaran apa ini, Pak?”

“KJ 2,” katanya singkat.

“Bapak guru yang mengajar?”

“Iya.”

“Bukan guru pengganti?”

“Bukan.”

Jawaban itu membuat saya semakin bingung. Rasanya ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Saya melangkah keluar, meninggalkan kelas itu dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Dalam hati saya bergumam, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?”

Mungkin saya harus mencari jawabannya besok, atau di hari lain. Untuk saat ini, saya hanya bisa menahan diri. Karena sering kali, apa yang tampak di depan mata tidak selalu menggambarkan apa yang dipikirkan. 

Semoga saja saya mendapatkan jawaban yang masuk akal.

Salam waras

Minggu, 24 Agustus 2025

Refleksi Raport Pendidikan SMKN 1 Galang Tahun 2025


Tahun ini (2025) kita menerima kabar baik dari rapor pendidikan. Dibandingkan dengan tahun lalu, kemampuan numerasi siswa SMKN 1 Galang meningkat paling tinggi. Ini adalah bukti bahwa kerja keras kita mulai menampakkan hasil. Lebih membanggakan lagi, indikator karakter siswa menjadi capaian terbaik. Sungguh ini adalah pencapaian yang patut kita syukuri bersama, karena artinya anak-anak kita tumbuh dengan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kejujuran. Setidaknya yang baik lebih dominan daripada yang kurang baik.

Namun, di balik kabar baik itu, ada pesan penting yang tidak boleh kita abaikan. Rapor pendidikan juga menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran kita masih berada pada titik terendah. Salah satu penyebabnya adalah metode mengajar kita yang belum banyak berubah, masih cenderung konvensional, dan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan anak-anak kita hari ini.

Mari kita renungkan bersama, Bapak Ibu. Anak-anak yang setiap hari kita temui di kelas, mereka tumbuh di zaman yang sangat berbeda dengan zaman kita dahulu. Mereka membutuhkan pembelajaran yang bukan hanya membuat mereka tahu, tetapi juga membuat mereka bisa berpikir kritis, bekerja sama, berani mencoba, dan berani belajar dari kesalahan.

Di sinilah peran kita begitu besar. Kita bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi sedang membentuk masa depan mereka. Apa yang kita lakukan hari ini di kelas, akan menjadi bekal hidup mereka kelak. Karena itu, kualitas pembelajaran harus menjadi perhatian utama kita bersama.

Bapak Ibu yang saya banggakan, dorongan untuk berubah ini tidak hanya datang dari rapor pendidikan, tetapi juga dari perhatian besar Bapak Gubernur kita. Melalui program Berani Berkah, beliau mengingatkan kita semua agar pendidikan tidak hanya mengasah otak, tetapi juga menumbuhkan akhlak. Program Berani Berkah diwujudkan dalam kegiatan nyata seperti shalat berjamaah di sekolah. Kegiatan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga menjadi sarana untuk membentuk kebersamaan, kedisiplinan, dan karakter spiritual anak-anak kita.

Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan program pendidikan terbaru dengan 7 Kebiasaan Baik yang diadaptasi dari The 7 Habits. Program ini mengajarkan anak-anak untuk proaktif, mampu mengatur prioritas, berpikir menang-menang, dan membiasakan kolaborasi. Jika kita terapkan secara konsisten, 7 Kebiasaan Baik akan menjadi budaya sekolah yang membentuk karakter anak-anak kita agar lebih siap menghadapi dunia kerja dan kehidupan.

Bayangkan, Bapak Ibu, jika rapor pendidikan yang kita terima ini kita respon dengan semangat program Berani Berkah dan 7 Kebiasaan Baik. Maka kualitas pembelajaran kita bukan hanya akan meningkat, tetapi juga berpadu dengan kekuatan karakter dan spiritualitas siswa. Inilah pendidikan yang utuh, pendidikan yang membentuk kecerdasan sekaligus hati.

Bapak Ibu yang saya cintai, kita semua tentu ingin melihat anak-anak kita berhasil, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Dan itu hanya bisa terwujud bila kita mau berubah, mau membuka diri, dan mau berinovasi. Perubahan memang tidak mudah, tapi bukankah kita selalu mengajarkan kepada siswa bahwa belajar itu berarti berani mencoba hal baru? Maka marilah kita juga meneladankan itu.

Mari jadikan rapor pendidikan ini bukan sebagai beban, tetapi sebagai cermin yang menunjukkan di mana kita perlu memperbaiki diri. Dengan dukungan program Berani Berkah, dengan pembiasaan 7 Kebiasaan Baik, dan dengan komitmen kita semua, saya yakin SMKN 1 Galang bisa menjadi sekolah yang bukan hanya mencetak siswa cerdas, tetapi juga manusia yang berkarakter kuat, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Sabtu, 23 Agustus 2025

PELAKSANAAN OJT-1 Diklat Koding dan KA Fase E dan F di Kab. Tolitoli




Pelatihan OJT-1 Guru Koding dan Kecerdasan Artifisial Berlangsung Lancar di SMKN 1 Galang

Tolitoli – Pelaksanaan kegiatan On the Job Training (OJT-1) bagi guru peserta diklat koding dan kecerdasan artifisial (KA) berjalan lancar dan penuh antusias. Kegiatan ini berlangsung selama satu hari pada Sabtu, 23 Agustus 2025, bertempat di SMKN 1 Galang, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.

Sebanyak sembilan dari sebelas peserta yang berasal dari berbagai SMA dan SMK di wilayah Kabupaten Tolitoli hadir dalam kegiatan ini. Dua peserta lainnya tidak dapat mengikuti OJT-1 karena alasan yang telah dikonfirmasi, yakni satu orang sedang berada di luar kota dan satu lagi sakit.

Kegiatan OJT-1 merupakan bagian dari rangkaian program diklat nasional dalam rangka menyiapkan guru mata pelajaran koding dan KA, yang akan mulai diterapkan secara resmi pada tahun pelajaran 2025/2026 di seluruh Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan kemampuan guru dalam merancang serta melaksanakan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan kecerdasan buatan.

Selama kegiatan berlangsung, para peserta melakukan refleksi dan analisis pembelajaran melalui video praktik mengajar yang sebelumnya telah diunggah ke Learning Management System (LMS). Refleksi dilakukan dengan menggunakan pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) untuk mengidentifikasi kelebihan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang mereka hadapi dalam pembelajaran di kelas masing-masing.


Diskusi Kelompok: Analisis dan refleksi Video Pembelajaran

Peserta bekerja dalam kelompok diskusi, menyusun peta konsep di atas kertas plano, dan mempresentasikan hasilnya di hadapan fasilitator dan seluruh peserta. Kegiatan ini diakhiri dengan penguatan materi dari fasilitator, yang menekankan pentingnya perencanaan pembelajaran yang matang, pemanfaatan teknologi secara efektif, penguasaan materi, serta pelibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran mendalam.

Kendati dua peserta tidak hadir, pelatihan ini tetap dianggap berhasil dan membawa dampak positif. LPD Mitra Edukasi selaku penyelenggara menekankan bahwa kehadiran penuh dan partisipasi aktif sangat penting, mengingat kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi guru secara individu, tetapi juga bagi institusi pendidikan tempat mereka mengajar.







Senin, 11 Agustus 2025

Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

 Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

Refleksi Perjalanan Pendidikan di SMKN 1 Galang



Tolitoli, 11 Agustus 202

Bayangkan sebuah kelas di mana jam dinding berdetak lambat, siswa menunggu dengan gelisah, tapi guru datang terlambat seolah itu hal biasa. Tak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya, seolah waktu siswa bukanlah harta berharga. Lalu, saat pelajaran berakhir, ia buru-buru pulang, meninggalkan tumpukan pertanyaan siswa yang menggantung. Izin mendadak? Oh, itu seperti rutinitas harian, tanpa memikirkan apa yang terjadi pada siswa yang ditinggalkan sendirian di kelas. Mengajar pun jadi autopilot: tanpa evaluasi, tanpa refleksi, tanpa khawatir apakah ilmu itu benar-benar terserap atau tidak.

Ini bukan cerita fiksi dari novel distopia pendidikan. Ini adalah gambaran nyata yang sering kita lihat di sekolah-sekolah hari ini. Pertanyaan besarnya: Apa yang hilang dari diri seorang guru dalam dunia pendidikan modern? Mari kita kupas tuntas dalam artikel ini, dengan harapan bisa membangkitkan semangat para pendidik untuk kembali ke akarnya.

1. Rasa Tanggung Jawab: Fondasi yang Retak

Ingat saat kecil, guru adalah sosok seperti pahlawan super yang selalu tepat waktu, siap membimbing kita melewati labirin pengetahuan? Sayangnya, hari ini, banyak guru yang datang terlambat atau pulang cepat tanpa beban. Yang hilang di sini adalah rasa tanggung jawab yang seharusnya menjadi DNA seorang pendidik.

Bayangkan jika seorang pilot pesawat cuek dengan jadwal terbang—penumpang pasti panik! Begitu juga dengan guru: setiap menit di kelas adalah peluang emas untuk membentuk masa depan. Tanpa dedikasi ini, pendidikan jadi seperti pabrik massal, bukan tempat tumbuh kembang. Guru yang baik seharusnya merasa gelisah jika siswa kehilangan waktu belajar, karena itulah esensi profesi ini: sebuah panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan 9-to-5.

2. Empati: Hati yang Mati Rasa

"Guru izin hari ini, kelas libur!" Kata-kata itu mungkin terdengar biasa bagi siswa, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Siswa yang tertinggal mungkin kehilangan motivasi, atau bahkan merasa ditinggalkan. Di sinilah empati hilang dari diri guru.

Empati bukan sekadar kata manis dalam buku psikologi; itu adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan siswa. Saat guru mengambil izin tanpa memikirkan dampaknya—seperti "tidak ada kekhawatiran apa yang terjadi dengan siswa yang ditinggalkan"—pendidikan kehilangan sisi humanisnya. Siswa bukan robot yang bisa dipause; mereka manusia dengan emosi, mimpi, dan kebutuhan. Guru yang empati akan bertanya: "Bagaimana jika siswa saya butuh bimbingan hari ini?" Tanpa itu, kelas jadi tempat dingin, bukan rumah kedua yang hangat.

3. Refleksi Diri: Cermin yang Berdebu

Mengajar tanpa khawatir apakah siswa berhasil atau gagal? Tak ada evaluasi, tak ada refleksi? Ini seperti mengemudikan mobil tanpa melihat spion—berbahaya! Yang hilang adalah sikap reflektif, di mana guru seharusnya selalu mengevaluasi dirinya sendiri.

Dalam pendidikan ideal, setelah setiap pelajaran, guru bertanya: "Apa yang berhasil? Apa yang perlu diperbaiki?" Ini bukan soal perfeksionisme, tapi tentang pertumbuhan. Tanpa refleksi, mengajar jadi rutinitas membosankan, tanpa inovasi. Siswa zaman sekarang butuh metode kreatif—video interaktif, diskusi kelompok, atau teknologi AI—bukan ceramah monoton. Hilangnya refleksi membuat pendidikan stagnan, seperti sungai yang tak mengalir, akhirnya mati suri.

4. Etika dan Integritas: Moral yang Luntur

Akhirnya, yang paling krusial adalah etika profesional dan integritas. Saat izin jadi alasan mudah untuk menghindari tanggung jawab, atau mengajar tanpa passion, itu menunjukkan prioritas pribadi di atas kewajiban moral. Guru seharusnya punya rasa bersalah jika melalaikan tugas, karena mereka adalah role model bagi siswa.

Bayangkan siswa meniru sikap ini: datang terlambat ke sekolah, cuek dengan tugas. Akibatnya? Generasi yang kurang bertanggung jawab. Etika membuat profesi guru mulia; tanpanya, itu hanya pekerjaan biasa. Guru yang berintegritas akan selalu ingat: "Saya bukan hanya mengajar mata pelajaran, tapi membentuk karakter."

Dampak Besar dan Jalan Keluar

Hilangnya elemen-elemen ini bukan hanya masalah individu, tapi bencana bagi sistem pendidikan. Siswa kehilangan motivasi, kualitas lulusan menurun, dan masyarakat akhirnya menderita karena kurangnya pemimpin berkualitas. Tapi, ada harapan! Guru bisa kembali ke jiwa pendidik autentik melalui pelatihan refleksi diri, dukungan dari institusi seperti supervisi rutin, dan ingat visi awal: pendidikan sebagai alat pemberdayaan.

Para guru, mari introspeksi: Apa yang membuat Anda memilih profesi ini? Kembalikan rasa tanggung jawab, empati, refleksi, dan etika itu. Siswa Anda menunggu pahlawan mereka kembali. Dan bagi kita semua, dukunglah pendidik dengan apresiasi yang layak—karena masa depan ada di tangan mereka.

Apa pendapat Anda? Bagikan pengalaman di kolom komentar, dan mari bangun pendidikan yang lebih baik bersama!