Pengikut

Sabtu, 15 April 2023

Strategi Pengembangan Tefa Melalui Kebijakan Anggaran

Hasil belajar yang rendah masih menjadi masalah di SMK, terutama di SMK penulis. Keterampilan (hardskill) siswa masih sangat perlu ditingkatkan. Hampir semua jurusan. Jika ada yang sedikit lebih baik, itu juga tidak banyak. Perkiraan kasar tidak lebih dari 30%. 

Tidak jauh berbeda dengan hardskill, softskill yang dipandang sebagai unsur paling penting dari kualitas sumberdaya manusia juga belum dapat dikatakan baik. Direktur Kemahasiswaan UGM Drs Hariyanto MSi mengatakan, "80% keberhasilan hidup itu ditentukan oleh softskill atau kemampuan kepribadian. " (Artikel di https://ugm.ac.id/id). 

Konsep 80% softskill menentukan keberhasilan hidup ini bukan hanya pandangan personal. Namun konsep tersebut sejatinya telah menjadi keyakinan umum. Sehingga orang percaya apabila seseorang memiliki softskill yang buruk maka sangat mungkin dia akan gagal dalam hidupnya, atau setidaknya gagal dalam karir. 

Sayang, keyakinan softskill sebagai trek paling potensial menuju keberhasilan hidup tidak serta merta diikuti oleh sikap yang relevan baik oleh siswa maupun oleh guru sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam memberikan tuntunan. Buktinya, pembentukan sikap dalam bekerja (softskill) belum menjadi prioritas dalam proses pembelajaran. Berbagai tindakan yang merefleksikan softskills yang belum baik masih dapat dengan mudah kita saksikan. 

Pada kegiatan praktik misalnya, masih banyak siswa yang abai dengan penggunaan APD dan prosedur K3. Ironisnya guru bahkan tidak menganggap hal tersebut sebagai bentuk pelanggaran serius. Tidak penting. Sehingga tidak diberikan teguran atau sanksi tegas. Padahal tidak menggunakan APD atau mengabaikan K3 sudah menunjukkan rendahnya kesadaran menjaga keselamatan kerja. Ini juga menjadi indikasi perilaku tidak tertib. Tidak mengikuti aturan, dan bahkan merupakan bentuk pembangkangan (tidak patuh). Tidak disiplin dan sebagainya. 

Jika menggunakan APD dan prosedur K3 saja sudah diabaikan, bagaimana pula dengan sikap dan perilaku lainnya. Hampir bisa dipastikan perilaku baik yang diharapkan tumbuh akan sulit terbentuk, seperti sabar, telaten, dapat bekerja sama, menjaga kebersihan lingkungan kerja, tanggungjawab, jujur dan perbuatan baik lain. 

Dan celakanya, kita harus menghadapi kenyataan itu. Problem di hardskills dan problem di softskills.

Bagaimana memperbaiki hardskills dan softskills sekaligus?

Memperbaiki hardskill dan softskill harus dengan cara dan strategi yang tepat. Guru sudah semestinya belajar dari pengalaman dan menyadari kelemahan tindakan pembelajaran yang sudah dilakukan. Sehingga dengan demikian, guru bersedia menerapkan cara dan strategi baru untuk memperoleh hasil belajar yang lebih optimal. Memang diperlukan motivasi kuat untuk keluar dari pakem yang sudah nyaman dilakukan menuju pada cara dan strategi baru. Namun untuk hasil yang lebih baik mestinya itu tidak menjadi kendala. 

Sebetulnya sejumlah solusi dan strategi perubahan sudah ditawarkan, diantaranya dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (PBJL) dan pendekatan Tefa. 

Kedua strategi tersebut sudah sering dibahas baik dalam tataran ide maupun praktek kerja. Bahkan implementasinya sedikit dipaksanakan, yang penting jalan dulu. Semacam triar and error. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk pembelajaran sekaligus triger untuk memberi dorongan (suport) agar strategi tersebut segera dijalankan. Jangan sampai hanya menjadi wacana. Indah dalam konsep tetapi nihil tindakan alias NATO no action talk only.  Soal efektif atau tidak itu persoalan lain. Motivasinya terus belajar. Lakukan refleksi sehingga memungkinkan terjadinya perbaikan berkelanjutan.  

Sejalan dengan dua strategi tersebut, terbetik dalam benak penulis untuk menerapkan strategi lain sebagai bentuk pressure atau rel yang dapat memandu percepatan pencapaian tujuan peningkatan kompetensi siswa melalui implementasi strategi PBJL dan Tefa. Hal ini bermula dari pencermatan penulis terhadap rencana sekolah.

Ada yang menarik dari rencana kerja sekolah yang biasa dibuat selama ini, yakni cara membuat usulan pengadaan bahan dan alat praktek. Kita sudah tahu bahwa dalam sistem manajemen, rencana memiliki peran strategis.  Aa Gim pernah mengatakan "gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan". Selain itu, 75℅ dari keberhasilan itu ditentukan oleh rencana. Jadi, jika rencananya keliru, maka hampir dapat dipastikan suatu proyek atau kegiatan akan gagal. Sehingga sangat rasional jika inovasi usulan dalam rencana kerja sekolah menjadi salah satu strategi pendukung dari dua strategi yang terus diupayakan yaitu PBJL dan Tefa. 

Satu point penting yang perlu dipahami bahwa rencana tertulis merupakan refleksi pola pikir penyusunnya. Sedang pola pikir sendiri akan menentukan tindakannya. Sehingga sangat mungkin untuk melakukan perbaikan tindakan pembelajaran melalui inovasi rencana. 

Membaca dan memahami usulan yang dibuat, penulis sampai pada suatu kesimpulan bahwa usulan yang dibuat tidak berdasarkan kebutuhan proyek atau kegiatan spesifik. Misalnya proyek budidaya tanaman sayuran, atau proyek budidaya tanaman buah. Yang tertulis justru hanya sekedar usulan bahan dan alat praktik. Untuk praktik apa, tidak disebutkan secara spesifik. 

Sepintas mungkin usukan yang dibuat tidak memberikan pengaruh atau efek tertentu terhadap pelaksanaan praktik. Namun jika dicermati lebih jauh dan dibandingkan dengan data pelaksanaan praktik selama ini, maka akan diperoleh jawaban atau informasi atas pertanyaan "mengapa hardskill dan softskill siswa tidak dapat berkembang optimal?" dan "mengapa kegiatan praktik tidak pernah berhasil mencapai produk akhir?" 

Penulis meyakini bahwa penyebab utama kegagalan pembelajaran kejuruan itu bermula dari cara merumuskan usulan. Kok bagitu? logikanya sederhana. Usulan yang dibuat merefleksikan pola pikir pembuatnya. Oleh sebab itu, jika usulannya tidak fokus atau tidak spesifik pada tujuan produk tertentu, maka dapat dipastikan pola pikir penyusun atau pembuatnya tidak fokus, tidak spesifik, dan tidak berbasis pada produk sebagai tujuan akhir. Dengan pola pikir seperti itu sulit diharapkan kegiatan praktik akan berhasil baik proses lebih-lebih produk yang bermutu.  

Rasa-rasanya sulit dibayangkan produk apa yang dihasilkan dari usulan pengadaan bahan dan alat praktik berikut:

PENGADAAN BAHAN DAN PRAKTIK ATP-ATPH 

  1. Polybag 2kg Rp.110.000,-
  2. Pertalite 50 liter Rp.500.000,-
  3. Plastik bening dan sungkup 1 gulung Rp.200.000,-
  4. Pupuk NPK Phonska Plus 2 zak Rp.900.000,-
  5. Pupuk KCL 1 zak Rp.800.000,-
  6. Bibit Coklat 25 pohon Rp.250.000,-
  7. Bibit Kopi 2 kg Rp.200.000,-
  8. Bibit nilam 5 kg Rp 100.000,-
  9. dst

Bandingkan jika usulannya dibuat sebagai berikut:

PENGADAAN BAHAN DAN ALAT PRAKTIK BUDIDAYA TANAMAN JAGUNG UNTUK LUAS LAHAN 1 HA

  1. 20 kg benih jagung Rp. 1.600.000,-
  2. Biaya pembersihan lahan 1 ha/ olah Rp. 1.500.000,-
  3. Upah tanam Rp. 300.000,- /ha
  4. Pupuk organik 40 kg @ Rp.40.000,-
  5. Biaya perawatan Rp. 1.000.000,-
Usulan ke dua jelas lebih fokus dan terukur. Pertanggungjawaban pun bukan hanya sebatas bahan dan alat yang dibeli. Tetapi sampai pada hasil berupa produk dari kegiatan yang dilakukan. 

Sehingga dengan demikian, maka salah satu strategi penguatan dalam melakukan perubahan pembelajaran adalah melakukan perubahan cara mengusulkan bahan dan alat praktik kejuruan, 

caranya bagaimana? 

Sederhana. Dalam mengusulkan alat dan bahan praktik, ketua jurusan tidak boleh hanya sekedar mengusulkan saja tanpa tujuan proyek yang jelas. Usulan yang dibuat sudah seharusnys berdasarkan proyek apa atau produk apa yang akan dihasilkan. Penulis menyebutnya usulan berbasis proyek. 

Usulan berbasis projek adalah usulan yang berorientasi pada produk dan bisnis. Ruh utamanya adalah produk apa yang akan dihasilkan dan kualitasnya bagaimana. Termasuk jumlah dan kuantitas lain. Pendek kata ada ukuran yang rinci tentang hal yang akan dilakukan. 

Dengan cara tersebut maka masing-masing pengusul merinci kebutuhan bahan dan alat praktek berdasarkan rencana proyek. Semua bahan dan alat praktik yang digunakan dihitung sebagai cost dalam penyelesaian suatu proyek. 

Pun tujuan akhir kegiatan praktek kejuruan bisa terbaca dengan jelas. Dari contoh diatas misalnya sudah dapat dibayangkan produk apa yang akan dihasilkan sebagai bentuk pertanggungjawaban, dalam hal ini kebun jagung yang subur atau hasil kebun berupa jagung pakan ternak. Ukurannya capaian juga jelas, misalnya 100 kg, dll. 

Bandingkan dengan cara usulan yang hanya merinci bahan dan alat praktek saja tanpa tujuan proyek. Bahan dan alat yang diusulkan hanya sekedar memenuhi kebutuhan praktek untuk peragaan keterampilan tertentu saja. Hasil akhir praktik tidak sampai pada produk. Akibatnya seringkali kebun hasil praktek tidak terawat, karena praktik yang dilakukan hanya terbatas di kompetensi menanam saja. Tidak sampai memelihara, apalagi sampai panen. 

Jadi jelas sekarang bahwa strategi pengembangan Tefa dapat dilakukan dengan kebijakan anggaran. Caranya dengan memperbarui cara mengusulkan alat dan bahan praktik oleh jurusan. 

Dengan model usulan seperti itu maka beberapa keuntungan dapat di peroleh, antara lain:
  1. Perencanaan lebih rasional
  2. Perencanaan kerja lebih komprehensif (dari pengolahan laha, pemeliharaan, panen, dan penjualan)
  3. Pembelajaran lebih fokus pada kompetensi teknis, karena siswa belajar dengan motif usaha yang memungkinkan mereka bertindak efektif, presisi
  4. Pembelajaran karakter berjalan efektif karena semua harus sesuai standar kerja, pakai K3, bekerja sesuai jadwal dan rencana
  5. Penggunaan bahan dan alat lebih efisien dan ekonomis
  6. Tidak akan terjadi kebun yang tidak terawat karena sudah diperhitungkan dan budgetnya sudah disediakan
    dan masih banyak keuntungan lainnya.
Semoga ide perubahan ini dapat segera diimplementasikan, sehingga proses pembelajaran kejuruan bisa lebih optimal sebagai wadah pembentuk hardskill dan softskill secara simultan.


0 comments:

Posting Komentar