Pengikut

Selasa, 28 September 2021

Keberuntunganku itu disini

 


Saya benar-benar merasa menjadi orang yang paling beruntung. betapa tidak, pada kelas menulis om Jay ini, saya termasuk salah satu orang yang paling banyak mendapat hadiah buku. Ada empat buku yang saya peroleh, (1) 1 dari penerbit andi, (2) 1 dari bu Iis, (3) 2 buah buku dari kelas bicara. Luar biasa? Belum lagi di kelas menulis gelombang 19 saya di angkat menjadi ketua kelas. Mungkin bagi orang lain itu biasa saja, tidak ada hal yang istimewa. Tapi lain halnya bagi saya, ini juga satu keberuntungan. Karena seandainya saya tidak diangkat ketua, bisa jadi saya tidak sampai dititik ini, dimana saya akhirnya berhasil memenangkan tantangan menulis resume sebanyak 30. Bahkan akhir saya berhasil menerbitkan sebuah buku solo dengan judul "Belajar di Balik Layar" yang diterbitkan Oase Pustaka. 

Siapa pun pasti mengerti bahwa menjalani tantangan menulis bukan hal yang mudah. Diperlukan motivasi tinggi yang terus menerus. Sebab jika tidak, waktu belajar menulis yang dilaksanakan sebanyak 30 kali pertemuan itu bisa jadi berakhir di tengah jalan. Terbukti tidak sedikit dari peserta belajar menulis yang awalnya bersemangat, namun setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kabur entah kemana. Coba anda bayangkan, dari 275 orang yang terdafar di WA, ternyata yang aktif hanya kurang dari 30 orang. Ini bukti bahwa belajar menulis itu bukan aktivitas biasa bagi sebagian besar orang.

Jika niat dan tujuan belajar menulis tidak ikhlas dan kurang fokus, maka orang biasanya sangat mudah goyah. Ada banyak alasan yang digunakan untuk membenarkan keinginan berhenti belajar menulis. Tidak punya waktu, terlalu sibuk, atau banyak tugas lain  sering menjadi alasan pembenar untuk tidak meneruskan belajar menulis. Belum lagi soal alasan tidak bisa menulis, padahal justru disinilah tempatnya kita belajar menulis. Kalau kita tidak bisa menulis, seharusnya belajar menulis, bukan sebaliknya justru berhenti belajar menulis ..he...he... 

Menulis adalah keterampilan. Oleh karena itu, untuk membuatnya mahir, menulis harus dibiasakan berulang-ulang. Menulis harus didril, jika masih kurang bagus ulang lagi, dan ulang lagi. Jangan malu menulis jelek, karena tulisan yang baik itu hanya buah dari tulisan yang diulang-ulang. Jika kita malu dengan hasil yang jelek, maka biasanya kita akan segera berhenti menulis. Menurut saya jangan menghakimi diri sendiri sedemikian kejam, padahal kita tau bahwa kita selalu punya peluang untuk berhasil. Berhenti menulis karena merasa tulisan jelek adalah keputusan yang keliru. Lihat saja tukang mebel, pasti diawal produknya tidak sebaik tukang mebel yang sudah punya jam terbang tinggi. Tetapi seiring waktu, produk mebelnya semakin baik dan berkualitas. Kenapa? karena dia tidak berhenti membuat mebel.

Menulis seperti tukang mebel, jika tukang mebel dapat membuat produknya semakin baik seiring jumlah produknya yang semakin banyak. Maka menulis juga demikian, semakin banyak menulis, pasti akan semakin baik tulisannya. Mengapa demikian? sederhana alasannya, setiap orang adalah pebelajar, ketika kita menyadari tulisan kita kurang baik, maka pasti kita akan mencoba memperbaikinya. Itu sipatnya alamiah. Ketika kita membuat kalimat, mungkin awalnya kurang enak dibaca, tetapi karena terus diperbaiki, akhirnya bagus juga kalimatnya. Sebagai penulis kita juga pasti belajar. Belajarlah tentang teknik menulis, belajar tentang KBBI dan PUEBI, atau belajar tentang membuat kalimat, paragraf, dan lain-lain. Dari proses belajar itu pasti tulisan kita berikutnya akan semakin bermutu.

Saya dapat menjelaskan hal seperti di atas, karena saya telah membuktikannya. Dulu tulisan saya juga kurang baik, atau bahkan mungkin sampai saat ini. Tapi saya tetap menulis. Kalimat yang selalu menginspirasi saya adalah tulislah, biarkan tulisanmu menemukan takdirnya sendiri. Setiap tulisan ada penikmatnya. Bisa jadi memang tidak semua orang suka dengan tulisan kita, tapi biarkan saja. Itu hal yang lumrah. Jangankan tulisan, makanan yang enak saja tidak semua suka, seperti makanan berminyak kan tidak semua suka. Bagi yang punya kolesterol pasti tidak suka. Begitu juga dengan tulisan, jangan berharap semua suka. Jangan pikirkan yang kita tulis, tetapi tulislah yang kita pikirkan.

Sebelum saya bergabung dengan kelas menulis om Jay, saya sudah sering menulis. Jika saya protes terhadap sesuatu hal yang menurut saya keliru atau tidak tepat, maka saya tulis. Awalnya pendek, tetapi karena terus dijelaskan akhirnya menjadi tulisan yang panjang. Suatu ketika saya menulis tentang juknis penilaian SMK. Saya tulis langsung di WA, tulisan saya awalnya singkat saja. Tapi lama-lama makin panjang. Saya baru menyadari kalau tulisan saya itu sedang ditunggu oleh beberapa rekan kerja, setelah saya menuntaskan tulisan. Sampai-sampai mereka berkomentar "kenapa lama sekali menulisnya, saya jadi penasaran". Maklum di WA itu kan kalau kita menulis, pasti ketahuan. Sehingga orang kadang-kadang menunggu apa yang sedang kita tulis. Alhamdulillah, setelah tulisan selesai, saya kirim, wow.. ramai-ramai teman mengomentarinya.

Pada suatu kesempatan lain sebelum bergabung di kelas menulis om Jay, saya pernah mengikuti kelas menulis artikel yang dikelola oleh bapak Encon Rahman. Proses belajarnya juga mirip dengan kelas om Jay, pakai WA grup. Perbedaanya, kang Con begitu beliau biasa sapah, menggunakan pesan suara dan bukan pesan tertulis sebagaimana kelas om Jay. Selain itu, di kelas kang Con, penulis tidak langsung membuat resume dan menulis di blog. Namun ada juga kelebihannya, penulis yang ingin membuat buku, jika belum mempunyai rencana buku sendiri, maka disediakan draf buku berupa outline yang siap pakai. Jadi dengan outline yang sudah diberikan oleh kang Con penulis didorong membuat buku solo. Bukan hanya dibekali dengan outline yang lengkap, tetapi juga dibimbing selama tiga bulan. 

Bagi saya pendekatan yang dilakukan oleh kan Con itu cukup menarik. Alhamdulillah saya memang sempat mengikutinya. Saya bahkan sampai saat ini masih mengoleksi semua materi yag disampaikan oleh kang Con. Seharusnya saya sudah memiliki buku solo sebelum mengikuti kelas om Jay. Sayangnya draf buku yang saya sudah susun sebagian itu, ketika dikirimkan ke kang Con untuk diberi masukan tidak kunjung dibalas. Terus terang saya kecewa, karena saat itu sebenarnya saya sangat berharap ada koreksi dari kang Con. Menurut saya apabila kang Con merespon draf buku saya, maka saya akan lebih bersemangat melanjutkannya. Kedua jika dibalas atau direspon, saya merasa kang Con benar-benar serius ingin membantu atau membimbing. Sayang seribu sayang, naskah yang sudah melayang tidak kunjung berbalas. Akhirnya saya memutuskan tidak melanjutkan. Saya tidak bermaksud menyalahkan kang Con. Saya percaya kang Con tidak demikian, tetapi mungkin peruntungan saya bukan disitu.

Berbeda ketika saya belajar di kelas om Jay. Belum lagi saya benar-benar aktif belajar, om Jay dan timnya sudah memberikan motivasi bertubi-tubi. Saya merasa dan mungkin juga kawan-kawan lain juga merasakannya, seperti memperoleh suplemen energi yang luar biasa. Kedekatan emosional yang ditunjukkan oleh om Jay dan tim melalui komentar-komentarnya membuat saya seperti orang yang sudah kenal lama. Inilah yang disebut engagement. Sehingga wajar saja saya merasa keberuntungan saya itu di sini. 

Dari pengalaman bersama kelas om Jay itu, saya berkesimpulan betapa pentingnya komentar-komentar yang menyentuh sisi emosional itu. Apalagi bagi mereka yang belum memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Saya menjadi semakin yakin kesimpulan saya benar, ketika saya mengajak sahabat satu daerah bergabung di kelas om Jay. Kebetulan beliau baru bergabung setelah pertemuan ke-10. Awalnya beliau begitu bersemangat. Hal ini dapat dilihat dari komentar-komentarnya di WA grup. Saya merasakan adanya harapan dari sahabat itu untuk disapa secara khusus oleh om Jay. Tetapi sayangnya harapanya tidak kunjung terkabul. Padahal sahabat saya itu termasuk orang yang cukup berbakat menulis. Beliau juga sejak bergabung sangat rajin membuat resume. Bahkan khusus untuk memancing komentar om Jay, sahabat saya itu sering menyapa secara khusus kepada Om Jay melalui WA grup. Tapi beliau mungkin belum beruntung, om Jay tak kunjung menyapa. 

Entah kecewa atau atau putus asah, terakhir saya melihat sebuah tulisan panjang dari beliau yang dibagikan di WA grup, saya lupa judulnya. Tulisan itu isinya mengungkapkan terimakasih terkhusus kepada om Jay. Saya mencoba men-scrool lagi tulisan itu untuk memastikan lagi, tapi sudah terlalu jauh memanjat. Saya tidak berhasil menemukannya. Yang jelas setelah surat tersebut, saya tidak menemukan lagi postingan-potingan berikutnya. Bahkan resume yang sudah sampai pada pertemuan motivasi, sudah tidak berlanjut. Makanya saya berkesimpulan beliau kecewa karena tidak mendapatkan sapaan akrab secara pribadi dari om Jay maupun tim kelas menulis lainnya. Terakhir saya menemukan beliau malah aktif di grup menulis yang lain.

Sampai disini kita semestinya semakin paham, di dunia digital sekalipun. Meski dengan pertemuan yang tidak mendekatkan fisik, tetapi sisi emosional setiap orang tetap sensitif. Jika sisi emosional tersebut terkelola dengan baik, dalam arti terbangun hubungan timbal balik yang positif diantara person-person yang terlibat interaksi, maka sangat mungkin engagement terbentuk dan pasti efek positifnya akan sangat luar biasa. Orang menjadi bersemangat dan bergairah menjalani komunikasi, interaksi dan aktivitas yang terkait meskipun hanya melalui dunia maya. 

Inilah yang saya rasakan bersama dengan kelas belajar Om Jay. Saya benar-benar merasakan tempat nyaman untuk berdiskusi, berbagi pengalaman dan ilmu, saling mengomentari, saling menguatkan, memotivasi dan yang pasti saya memperoleh banyak manfaat terutama untuk pengembangan diri dibidang tulis menulis. Maka keberuntunganku itu disini.

Tolitoli, 1 Okrober 2021
Muliadi 






0 comments:

Posting Komentar