Pengikut

1000 Guru Motivator Literasi

Segera Daftarkan Diri Anda.

Lintas Pagi Spirit RRI Tolitoli

Diskursus Penguatan Nilai-Nilai Pancasila di dalam Kehidupan Sehari-hari.

Dialog Lintas Pagi RRI Tolitoli

Guru Kontrak atau PPPK Menjadi Harapan Terakhir bagi para Honorer, ketika batasan usia dan kuota tidak lagi dipenuhi.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 27 September 2025

Antara Lima Orang, Satu Teko Teh, dan Mimpi Besar

Tolitoli, 26 September 2025

Oleh: Muliadi 

Rapat Muhammadiyah di Tolitoli sore itu nyaris batal. Bukan karena hujan, bukan pula karena listrik padam. Penyebabnya sederhana: peserta rapat. Dari sekian banyak pengurus, yang datang hanya lima orang. Jumlah yang cukup untuk adzan, iqamah, sekaligus jadi makmum.

Saya tiba di sekretariat. Yang ada hanya Pak Rustam, sekretaris PDM. Ia duduk ditemani satu teko teh yang sudah dingin. Teh itu mungkin lebih sabar daripada kebanyakan pengurus. Menunggu lama, tak juga ditenggak. Kalau ia punya mulut, barangkali sudah teriak: “Hei, rapat ini untuk saya atau untuk kalian?”

Saya pun pindah ke masjid. Di sana ada Pak Ketua PDM dan Pak Nawir, sesepuh Muhammadiyah. Sesepuh itu memang punya jam biologis berbeda. Selalu datang lebih dulu. Sementara yang muda-muda sering datang belakangan—kalau datang. Alasan klasik: sibuk.

Setengah lima sore lewat, jumlah peserta masih segitu-gitu saja. Untung kemudian Pak Kepala MTs hadir. Lalu disusul Pak Rustam. Lengkaplah lima orang. Pas. Rapat pun dibuka.

Topiknya keren: Hasil kegiatan LPPCR di Gorontalo, bil khusus soal Akademi Marbut Masjid Muhammadiyah (AM3). Namanya gagah, seperti program global. Tapi apa daya, pesertanya hanya cukup untuk main kartu remi.

Pak Rustam membuka rapat sambil menceritakan bagaimana marbut mengelola masjid dengan baik dan profesional. Masjidnya sampai punya cafe dan seterusnya. 

Pak Suhaili menambahkan tentang ide kegiatan atau program tahfidz, tilawah, tahsin dan tafsir di Masjid. Program ini menurut beliau penting selain meningkatkan pemahaman tentang Al-Quran, juga dapat menjadi sarana pencetak dai Muhammadiyah. 

Pak Nawir, sang sesepuh, bicara lebih tajam: Muhammadiyah Tolitoli sedang krisis kader pendakwah. Solusinya? Segera bangun TPA di Lelean Nono. Jangan cuma wacana. TPA itu bisa jadi cikal bakal pesantren pencetak dai muda Muhammadiyah. Kata beliau, kalau Muhammadiyah tak segera mencetak kader dakwah, maka nanti khutbah Jum’at di Masjid Muhammadiyah bisa saja bukan lagi style Muhammadiyah .

Pak Ketua PDM kemudian berbagi pengalaman tentang masjid di Sragen yang dikelola profesional. Ia sudah mencoba menirunya lewat Jum’at Berkah. Bedanya, di Sragen program itu berjalan setiap subuh, sementara disini baru sebatas Jum'at subuh.

Giliran saya diminta bicara. Padahal, niat saya hanya ingin mendengar. Tapi kalau sesepuh sudah menoleh, menolak itu seperti menolak dipanggil makan gratis. Akhirnya saya bicara.

Saya sampaikan bahwa Muhammadiyah sedang digiring ke arah profesional. Tiga kali pengurus ikut pelatihan yang di selenggarakan oleh PP Muhammadiyah. Isinya sama secara garis besar: tata kelola organisasi harus rapi. Muhammadiyah punya aset besar, tapi kalau dikelola seadanya, ya hasilnya seadanya juga. Malah bisa jadi masalah.

Itulah kenapa saya selalu lebih suka bicara tentang sistem, bukan sekadar program. Program penting, tapi tanpa perencanaan matang, program hanya akan jadi foto seremonial di spanduk, hilang setelah acara bubar.

Rapat sore itu ditutup oleh suara azan. Masih ada sisa argumen yang belum tersampaikan, tetapi azan "Marbut" sudah tidak memberi toleransi. Sambil menyeruput es teh yang makin encer Pak Rustam menutup dengan ayat pamungkas " "نَصۡرٌ مِّنَ اللّٰهِ وَفَتۡحٌ قَرِيْبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ" (Nashrum minallahi wa fathun qarib wa basyiril mu'minin)

Apa tindak lanjutnya? Itu urusan nanti. Di Muhammadiyah, rapat memang sering jadi ajang tafsir: serius saat bicara, cair saat bubar.

Tapi jangan salah. Justru dari rapat lima orang, satu teko teh, dan sejuta tafsir inilah Muhammadiyah Tolitoli membuktikan diri: ia mungkin lambat, tapi tetap bergerak. Dan bergerak, sekecil apa pun, masih lebih mulia daripada diam sambil berdebat di warung kopi.

Rabu, 10 September 2025

Manusia, Fitrah, dan Konsep Diri: Pentingnya Lingkungan Positif dalam Pendidikan

Palu, 10 September 2025

Islam mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, yaitu keadaan suci, bersih, dan terbuka untuk menerima kebenaran. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa manusia sejak lahir membawa potensi alami untuk kebaikan, namun arah perkembangan dirinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama orang tua, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, konsep diri seorang manusia tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh referensi dan pengalaman yang diperolehnya setiap hari.

1. Perspektif Islam: Fitrah dan Lingkungan

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS. Ar-Rum: 30)

Ayat ini menunjukkan bahwa potensi iman dan kebaikan sudah tertanam dalam diri setiap manusia, namun lingkungan—baik keluarga maupun masyarakat—berperan besar dalam mengarahkan fitrah itu menuju kebaikan atau sebaliknya.

2. Perspektif Psikologi dan Sosial

Pandangan ini sejalan dengan teori psikologi dan sosiologi modern:

  • Teori Belajar Sosial (Albert Bandura): manusia belajar melalui pengamatan (observational learning). Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari orang-orang di sekitarnya menjadi model yang ditiru dan diinternalisasi.

  • Teori Interaksionisme Simbolik (Mead & Cooley): konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial. Looking glass self menyatakan seseorang melihat dirinya sebagaimana ia membayangkan orang lain menilainya.

  • Teori Ekologi Perkembangan (Urie Bronfenbrenner): perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai lapisan lingkungan, mulai dari keluarga (mikrosistem) hingga budaya dan kebijakan (makrosistem).

Ketiga teori ini memperkuat bahwa lingkungan yang konsisten memberikan nilai, contoh, dan penguatan positif akan membentuk konsep diri positif pada individu.

3. Bagaimana Sekolah Membentuk Lingkungan Positif

Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, melainkan lingkungan sosial kedua setelah keluarga yang sangat menentukan pembentukan kepribadian siswa. Agar sekolah mampu memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku siswa, ada beberapa langkah strategis:

  1. Budaya Sekolah yang Religius dan Berkarakter

    • Membiasakan doa bersama, shalat berjamaah, salam, senyum, dan sapa.

    • Menanamkan nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab melalui kegiatan sehari-hari.

  2. Keteladanan Guru dan Tenaga Kependidikan

    • Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga teladan. Sikap guru dalam berbicara, berpakaian, bekerja, dan menghadapi masalah menjadi cermin langsung bagi siswa.

  3. Lingkungan Fisik yang Tertata dan Ramah

    • Sekolah yang bersih, hijau, dan nyaman menciptakan suasana hati yang positif. Tata ruang yang rapi mengajarkan keteraturan.

  4. Sistem Pembelajaran yang Menguatkan Karakter

    • Pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan kontekstual menumbuhkan tanggung jawab, kreativitas, serta kepedulian sosial.

    • Penilaian tidak hanya kognitif, tetapi juga aspek sikap dan keterampilan.

  5. Penguatan Komunitas Sekolah

    • Menciptakan komunitas belajar yang sehat, saling menghargai, tanpa perundungan (bullying).

    • Melibatkan orang tua dan masyarakat agar nilai yang ditanamkan di sekolah berkesinambungan dengan rumah.

  6. Konsistensi dalam Aturan dan Penguatan Positif

    • Aturan ditegakkan secara adil dan konsisten.

    • Siswa diberi apresiasi atas perilaku baik, bukan hanya dihukum ketika salah.

Dengan demikian, lingkungan sekolah yang positif akan menjadi referensi sehari-hari bagi siswa dalam membentuk konsep dirinya. Apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di sekolah secara konsisten akan menuntun mereka pada perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.

Kesimpulan

Islam melalui konsep fitrah dan hadits Nabi ﷺ menekankan pentingnya lingkungan dalam membentuk kepribadian manusia. Hal ini senada dengan teori psikologi dan sosial yang menyatakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi dan pengalaman dari lingkungan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak cukup hanya dengan memberikan pengetahuan, melainkan yang paling utama adalah menciptakan lingkungan sekolah yang positif, konsisten, dan bernilai, sehingga siswa tumbuh menjadi pribadi beriman, berakhlak mulia, dan memiliki perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.