Pengikut

Selasa, 25 Januari 2022

RKJM, PETA JALAN apa bedanya?

Sehari kemarin, tepatnya senin 24 Januari 2022 kami mulai menyusun RKJM dan turunannya. Rencananya kegiatan yang dibertajuk "Workshop penyusunan RKJM, RKT, dan RAKS SMK Negeri 1 Tolitoli" akan berlangsung selama 3 hari. Banyak hal yang tidak lazim dalam pandangan saya tentang tata cara atau praktek penyusunan RKJM ini. Mulai dari judul acaranya (seperti tertulis di atas) sampai bagaimana kegiatan ini berjalan. 

Niatnya kegiatan ini adalah menyusun RKJM sekolah yang akan berlaku mulai tahun 2022 s.d 2025. Tetapi judulnya bertema "Workshop", sehingga lebih bernuansa pelatihan ketimbang menghasilkan produk berupa RKJM, RKT maupun RKAS. Pertanyaannya, bukankah menyusun RKJM atau peta jalan (road map) adalah sesuatu yang sudah "biasa" bagi sebuah sekolah? Apalagi bagi sekolah yang sudah mendapat status SMK PK. 

Namun, tiba-tiba saya tersadar. Mungkin judul "Workshop" itu ada benarnya juga. Mengingat latar belakang gagasan gencarnya proses penyusunan RKJM tahun ini, dilatar belakangi oleh surat edaran dinas pendidikan, yang baru menyadari bahwa titik lemah pendidikan itu ternyata berada di level "top manajemen sekolah". Tidak main-main, sampai-sampai di latarbelakangnya, surat tersebut menyebutkan secara tegas dan gamblang penyebab rendahnya mutu pendidikan. 

Anda dapat membaca sendiri. Saya sengaja mengambil potongan isi edaran tersebut agar anda menjadi paham bahwa saya tidak berlebihan.


Bagi saya, temuan ini tidak begitu mengejutkan. Dari praktek pengelolaan sekolah yang saya rasakan, saya lihat, dan saya alami, kelemahan pada aspek manajemen itu sangat nyata. Apalagi saya beberapa tahun terakhir selalu menjadi tim penyusun RAPBS. Draf RAPBS nya jadi, tetapi tak satupun dari RAPBS yang disusun tersebut di sahkan sebagai APBS yang berlaku dan menjadi rujukan kepala sekolah dalam melaksanakan tupoksinya. 

Saya bahkan sering terlibat dalam diskusi cukup "panas", karena ingin mengingatkan manajemen sekolah bahwa RAPBS itu berbeda dengan APBS. RAPBS masih mengandung diksi "Rencana". Artinya belum tentu berlaku dan dijalankan sebagai pedoman. Kata rencana akan hilang apabila RAPBS itu sudah disahkan yang dibuktikan oleh surat keputusan perberlakuan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah. Tetapi nasehat ini, nyatanya tidak dipahami oleh top manajemen sekolah. Entah ini suatu "kedunguan" atau suatu "kecerdasan" yang sengaja ingin mengambil manfaat dari kondisi tersebut. Yang pasti, praktek-praktek manajemen sekolah sebagaimana yang diamanatkan oleh MBS tidak berjalan optimal.

Saya benar-benar penasaran, risau dan gelisah (judul lagu lawas kali ye ...he...he) melihat kondisi "choatic" itu yang kemudian mendorong saya menuliskan kekacauan-kekacauan tersebut dalam beberapa tulisan, seperti "Rem, gas, dan akal sehat "driver" lembaga pendidikan". Lalu "Gagal merencanakan, sama dengan merencanakan kegagalan", dan sebuah pentigraf yang berjudul "Negeri Aneh". Tulisan-tulisan itu semuanya mewakili pikiran dan keresahan tentang pengelolaan sekolah yang ...... 

Tadinya saya ragu, apakah pandangan saya itu obyektif atau subyektif semata, sampai terbitnya surat edaran yang membenarkan kondisi itu. Hingga saya bepikir, apakah mereka membaca tulisan saya? Namun setidaknya masalah kelehaman manajemen ini bukan hanya sekedar rumor, tetapi telah menjadi sebuah fakta, yang akhirnya melahirkan kebijakan yang mendorong dan mengawal setiap sekolah untuk menyusun RKJM dan turunannya.

Begitu bersemangatnya keinginan menyusun RKJM ini, sehingga membuat sekolah yang sudah menyusun PETA JALAN pun masih harus menyusun RKJM. Pertanyaannya lagi, apa bedanya PETA JALAN dengan RKJM bagi sebuah lembaga atau entitas? Lalu apakah lazim sebuah entitas atau lembaga menjalankan dua pedoman dalam satu waktu? mulai aneh lagi...

Maaf, tulisan ini belum selesai


3 komentar: