Pengikut

Rabu, 02 September 2020

P3 (Pungutan Pendanaan Pendidikan) dan Potensi Offside



Oleh Muliadi, M.Pd

Sekretaris PGRI Tolitoli

Menarik sekaligus membuat miris membaca tulisan Dudung Nurullah Koswara “Diskursus Dana Partisipasi Orang Tua”. Latar tulisan menginformasikan kejadian yang menimpa SMAN 1 Cikampek Kabupaten Karawang Jawa Barat pada Kamis, 10 September 2020. Kejadian tersebut persis atau mirip dengan kejadian yang menimpah kepala SMA di Sulteng beberapa tahun lalu. Kejadiannya sama, yaitu sama-sama terjaring kasus Pungli oleh Tim Saber Pungli. Uniknya kejadian di Sulteng, memberi hikma atas terbitnya Pergub Sulteng Nomor 10 tahun 2017 tentang Pungutan dan Sumbangan.  

Beruntung sekali SMA/SMK di Sulteng dapat melaksanakan pungutan tanpa harus takut terjaring Tim Saber Pungli. Berkat Pergub tersebut kepala sekolah leluasa mengumpulkan dana P3 untuk mendukung dana BOS yang dianggap belum cukup. Dapat dibayangkan berapa banyak kepala sekolah yang harus berhadapan dengan hukum hanya karena Pungutan. Tetapi karena ada Pergub Pungli, maka pungutan P3 dapat berjalan mulus di sekolah.

Tapi apakah pelaksanaan pungutan di SMA/SMK itu benar-benar aman? Tunggu dulu. Pergub terbit bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dana pendidikan melalui partisipasi masyarakat atau hanya sekedar memberikan perlindungan kepada para kepala sekolah. Tetapi Pergub dibuat dan diterbitkan juga sebagai bentuk keberpihakan (afirmatif action) kepada pihak-pihak terkait. Oleh karena itu dalam penerapannya Pergub harus dapat memenuhi rasa keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Untuk maksud tersebut, meskipun Pergub membolehkan adanya pungutan, tetapi syarat dan ketentuannya harus dipatuhi,

Disinilah perlunya kehati-hatian para pelaksana pungutan P3. Sebab jika tidak berhati-hati apalagi dengan sengaja melakukan pelanggaran, maka tidak mungkin para kepala sekolah akan terkena offside. Masih bagus jika offside, tetapi kalau penalti bisa runyam masalahnya. Jika tidak berhati-hati bukan tidak mungkin para pelaku pungutan akan mengalami nasib yang sama seperti yang menimpah saudara kita di atas.

PGRI Sulteng merupakan salah satu motor penggerak lahirnya Pergub. Tentu harapannya agar pelaksanaan Pergub benar-benar dapat memberikan kemaslahatan kepada semua pihak. Dalam hal ini biaya pendidikan terpenuhi dan rasa keadilan tetap dapat dinikmati. Rasa keadilan tentu bukan hanya sekedar jumlah, rasa keadilan harus dapat memenuhi seluruh aspek nilai. Termasuk didalamnya nilai kejujuran, tranparansi, akuntabilitas dan ketaatan terhadap azas.

PGRI sebagai rumah besar bagi guru tentu punya kepentingan untuk melindungi para anggotanya dari berbagai masalah, termasuk masalah hukum. Tetapi perlindungan yang diberikan tentu bukan hanya sekedar ketika anggota PGRI itu tertimpa masalah. Bagaimanapun juga perlindungan yang terbaik adalah tindakan preventif.

Meskipun PGRI sebagai organisasi besar yang secara struktur memiliki lembaga bantuan hukum. Tetapi jika kasus hukum sudah menimpah apalagi sudah berjalan, maka pasti tidak banyak yang dapat dilakukan oleh PGRI. PGRI sebagai organisasi harus taat hukum, PGRI juga harus menghormati hukum. Tidak ada orang atau entitas apapun di negeri ini yang kebal hukum, meminjam istilah dari Nurullah equality before the law.  Setiap orang sama dimata hukum, oleh karenanya sebelum masalah hukum menimpa, maka sebaiknya bersikap arif dan bijak dalam melakukan sesuatu.

Tentu kita sepakat, bahwa pelaksanaan pungutan (P3) di sekolah yang berjalan saat ini jangan sampai bermasalah. Oleh karena itu, mengingatkan tentu lebih baik dari pada membiarkan seolah-olah semuanya berjalan baik-baik saja. Bagaimanapun juga harus diakui pelaksanaan pungutan secara substansi telah dilarang. Paling tidak terdapat tiga peraturan yang menjelaskan soal larangan pungutan.

Peraturan pertama adalah Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan di satuan pendidikan dasar. Dari peraturan inilah muncul terminology pungutan yang kemudian menjadi rujukan setiap peraturan yang terkait. Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 disebutkan bahwa Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.

Terminologi pungutan diatas secara konseptual membedakan pengertian pungutan dan sumbangan. Sehingga dengan konsep tersebut, setiap orang dapat membedakan mana pungutan dan mana sumbangan.  Muslim B Putra menegaskan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan itu berbentuk bantuan dan/atau sumbangan dan bukan pungutan (Artikel Pemberantasan Pungli di Sekolah, OMBUDSMAN R,I 2018). Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 9 Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 (1) Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. (2) Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapatkan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah pada tahun ajaran berjalan, dapat memungut biaya pendidikan yang digunakan hanya untuk memenuhi kekurangan biaya investasi dan biaya operasi.   

Peraturan kedua yang menegaskan soal larangan pungutan adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah. Secara umum peraturan ini mengatur soal struktur dan kedudukan komite. Tetapi justru disanalah urgensinya, dimana dalam peraturan ini justru komite sekolah baik perorangan maupun kolektif dilarang melakukan pungutan (pasal 12 huruf b). Konsekuensi dari peraturan ini, maka pungutan berbentuk dana komite yang ditarik oleh sekolah selama ini dilarang. Dapat dikatakan bahwa sejak terbitnya Permendikbud ini istilah dana komite sudah tidak ada lagi. Akibatnya, kepala sekolah yang kedapatan melakukan pungutan dana komite dapat terjerat kasus pungli, sebagaimana kejadian atau kasus di atas.  

Nah agar tidak terkena kasus pungli, maka terbitlah Pergub Nomor 10 Tahun 2017. Pergub ini adalah peraturan ketiga yang terkait pungli. Pergub Nomor 10 Tahun 2017 merupakan respon atas Permendikbud yang melarang soal pungutan. Jika ingin jujur semestinya Pergub ini tidak mesti harus ada, karena larangan soal pungutan sudah lama berjalan. Tetapi karena sikap proaktif Pemerintah Daerah atas masalah peningkatan mutu pendidikan yang dipandang masih memerlukan dukungan biaya, maka terbitlah Pergub ini.

Menurut Upi Fitriyanti, S.P (Artikel OMBUDSMAN RI, Jum'at, 29/03/2019) sesungguhnya tidak ada larangan untuk melakukan pungutan atau sumbangan yang bersumber dari masyarakat dalam hal ini peserta didik atau orang tua/wali selama syarat dan ketentuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Tentu saja penyataan Upi tersebut benar, tetapi dengan syarat. Jika syarat tidak dipenuhi maka pungutan pasti terlarang.

Andaikan dilapangan bola, syarat dan ketentuan mengenai pungutan seperti sebuah marka. Marka tersebut menjadi batasan-batasan yang mesti diperhatikan oleh para pemain agar tidak terkena offside. Sebab jika tidak diperhatikan, maka tidak mustahil para pemain akan terkena semprit. Itu tentu masih lebih baik, dari pada harus terkena penalty apalagi kartu merah.

Dalam Pergub ini paling tidak ada empat hal yang dapat membuat para pemain P3 terjebak offside. Pertama adalah soal penetapan besaran P3. Dalam Pergub ini disebutkan bahwa pungutan dilarang apabila dalam perhitungan perencanaan kebutuhan sekolah RAPBS yang ditetapkan oleh sekolah dan disetujui oleh komite sekolah lebih kecil atau sama dengan BOS yang diterima. Ini artinya P3 bisa tidak ada atau Rp. 0,- jika dana BOS sama dengan besar anggaran RAPBS.

Simulasinya kira-kira sebagai berikut: P3 = (Nilai APBS - BOS) : (Jumlah siswa - jumlah siswa kurang mampu). Dari sinilah diperoleh nilai besaran P3 untuk tahun berjalan. Berdasarkan rumus tersebut, jika nilai APBS = BOS, maka nilai P3 pasti bernilai nol. Artinya tidak ada tagihan P3 yang berarti pula ketentuan pasal 11 pada Pergub Nomor 10 Tahun 2017 tidak dapat dijalankan. Dalam hal ini tidak perlu lagi melihat besaran maximal pungutan yang dapat ditagihkan.

Proses penetapan di atas sesuai dengan konsep P3 sebagai dana penunjang dan bukan dana utama dalam memenuhi kebutuhan layanan mutu pendidikan. Pada pasal 48 huruf a PP 48 tahun 2008 disebutkan tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik dalam pendanaan ditujukan untuk menutupi kekurangan pendanaan satuan pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Jadi jelas RAPBS ditetapkan lebih dahulu baru P3 karena P3 dimaksudkan hanya untuk menutupi kekurangan.

Disinilah garis offside yang paling potensial dilanggar oleh para kepala sekolah dalam melakukan pungutan. Dalam prakteknya sangat mungkin terjadi seperti rumus berikut APBS = P3 + BOS. Dalam hal ini besaran P3 jelas tidak bergantung pada APBS. Tetapi P3 justru berdiri sendiri sebagai variabel bebas yang justru menentukan besaran nilai APBS. Pada posisi ini dana P3 bukan lagi sebagai dana penunjang, tetapi dana yang berdiri sendiri yang kedudukannya sama dengan dana BOS sebagai dana utama.

Proses penetapan P3 seperti itu bisa jadi hanya sebuah pelanggaran administrative. Tetapi yang harus diingat adalah dengan proses yang sungsang seperti itu cenderung mengelimir substansi P3 sebagai dana penunjang. Boleh jadi prinsip keadilan juga akan hilang. Artinya peluang siswa untuk tidak membayar P3 tidak akan mungkin terpenuhi karena besaran P3 ditetapkan terlebih dahulu baru kemudian RAPBS disusun. Jika ditelisik lebih dalam lagi, pelanggaran seperti itu bisa dengan mudah disusupi oleh kepentingan yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya bisa fatal, bukan hanya pelanggaran administrative tapi bisa berujung pada pelanggaran hukum.

Peraturan kedua yang potensial menjebak para pengelola P3 melakukan offside adalah pada aspek proses akademik. Pada pasal 10 huruf b disebutkan pungutan dilarang dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar, dan atau kelulusan. Garis offside ini sangat mungkin dilanggar mengingat kebiasaan sekolah memungut dana pada saat penerimaan siswa baru. Biasanya dengan alasan untuk memenuhi biaya tertentu, maka siswa baru diberikan beban P3 selama beberapa bulan. Pada hal sangat jelas larangan tentang hal itu.

Peraturan ketiga yang potensial menjebak adalah terkait siswa dari ekonomi lemah. Pada pasal 10 huruf a disebutkan pungutan dilarang dilakukan pada peserta didik atau orang tua/wali yang tidak mampu secara ekonomis. Dengan pendekatan penetapan P3 yang keliru atau tidak berhati-hati sangat mungkin siswa atau peserta didik yang kurang mampu akan ikut membayar P3. Biasanya hal ini terjadi pada saat penerimaan siswa baru. Dimana setiap siswa tanpa memandang status mereka semuanya harus mematuhi persyaratan yang diberikan oleh sekolah. Disinipun pelaksana P3 bisa terjebak offside, baik disengaja atau tidak.

Peraturan lainnya yang potensial membuat pengelola P3 terjebak offside adalah aspek pemanfaatan P3. Kurangnya pemahaman terhadap penggunaan dana P3 memungkinkan dana P3 digunakan untuk membiayai hal yang tidak dibenarkan. Pada pasal 12 dan 13 misalnya disebutkan bahwa pemanfataan pungutan meliputi biaya personalia satuan pendidikan. Biaya tersebut meliputi honorarium bagi pendidik dan tenaga kependidikan honorer yang diangkat oleh kepala sekolah. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, maka bisa jadi dana P3 masih digunakan membayar honor guru PNS baik untuk tunjangan jabatan maupun untuk mengajar.

Ke empat hal tersebut di atas perlu secara cermat diterjemahkan dan implementasikan secara benar oleh pimpinan satuan pendidikan. Sebab jika tidak maka tidak menutup kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Pergub Sulteng Nomor 10 Tahun 2017 tentang pungutan dan sumbangan pendidikan terbit bukan hanya untuk melindungi kepala sekolah atau personilnya dari pelaksanaan pungutan di sekolah. Tetapi lebih dari itu, Pergub juga berfungsi memberikan jamiman atas terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak, terutama pihak-pihak yang kurang beruntung.

Penggalangan dana pendidikan melalui dana masyarakat untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan sebenarnya sangat terbuka. Kreativitas dan inovasi dari pimpinan satuan pendidikan tentu memainkan peran penting. Dudung Nurullah mengingatkan sekolah dan komite sekolah harus kreatif dan jeli menangkap peluang potensi orangtua. Termasuk potensi finansial para orangtua kaya. Mengapa tidak mereka diminta memberikan sumbangan? Tentu dengan prosedural yang tidak bertentangan dengan peraturan tertinggi di negeri ini. Pungutan sudah tidak boleh, sumbangan sangat boleh (Dudung Nurullah Koswara, PB PGRI).

Kalaupun pungutan P3 masih dibolehkan di Sulawesi Tengah, namun syarat dan ketentuan pelaksanaannya jangan sampai dilanggar. PGRI tentu sangat respek dengan upaya setiap satuan pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dana pendidikan. Tetapi PGRI juga perlu mengirimkan sinyal bahaya (warning) jika langkah yang tempuh telah melampaui batasan-batasan yang ditentukan. Bukankah orang bijak mengatakan lebih baik mencegah dari pada mengobati. Lebih baik berhati-hati dari pada setengah mati. Dari pada terjaring Tim Saber Pungli lebih baik berpikir berkali-kali.

Wassalam   

 


0 comments:

Posting Komentar