Pengikut

1000 Guru Motivator Literasi

Segera Daftarkan Diri Anda.

Lintas Pagi Spirit RRI Tolitoli

Diskursus Penguatan Nilai-Nilai Pancasila di dalam Kehidupan Sehari-hari.

Dialog Lintas Pagi RRI Tolitoli

Guru Kontrak atau PPPK Menjadi Harapan Terakhir bagi para Honorer, ketika batasan usia dan kuota tidak lagi dipenuhi.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 04 Oktober 2025

Mengapa Statistik Penting untuk Anak SMK

Mengapa Statistik Penting untuk Anak SMK

Bagi sebagian siswa SMK, pelajaran statistik sering dianggap rumit dan hanya berisi hitungan angka-angka yang membingungkan. Banyak yang bertanya, “Untuk apa sih statistik dipelajari? Bukankah lebih penting belajar keterampilan kerja?” Pertanyaan ini wajar, apalagi SMK dikenal sebagai sekolah vokasi yang menyiapkan siswa langsung terjun ke dunia kerja. Namun, justru karena orientasi SMK yang praktis, statistik menjadi sangat relevan dan penting.

Statistik Membantu Pengambilan Keputusan

Di dunia kerja, hampir semua bidang membutuhkan data. Anak SMK yang bekerja di bidang agribisnis, misalnya, harus mampu membaca data hasil panen, menghitung rata-rata produksi, atau membandingkan hasil antar-minggu. Tanpa statistik, data tersebut hanyalah angka-angka mentah yang sulit dipahami.

Dengan kemampuan statistik, siswa dapat menarik kesimpulan: apakah panen meningkat, menurun, atau stabil. Dari sana, mereka bisa menentukan langkah selanjutnya, misalnya kapan melakukan pemupukan tambahan atau kapan menambah tenaga kerja. Statistik menjadi alat bantu membuat keputusan yang lebih rasional, bukan sekadar berdasarkan perasaan.

Statistik dan Dunia Bisnis

Bagi siswa SMK jurusan bisnis dan pemasaran, statistik adalah kunci membaca tren pasar. Melalui data penjualan, siswa bisa menghitung produk mana yang paling laris, di jam berapa pelanggan paling ramai, atau bagaimana kecenderungan penjualan dari bulan ke bulan.

Kemampuan ini penting karena dunia bisnis sangat bergantung pada analisis data. Anak SMK yang mampu mengolah data sederhana akan lebih mudah bersaing di dunia kerja. Mereka bisa menyajikan laporan berbasis angka yang dipercaya oleh atasan atau mitra kerja, bukan sekadar opini.

Statistik dalam Kehidupan Sehari-hari

Statistik tidak hanya berlaku di ruang kerja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika siswa ingin mengetahui berapa rata-rata pengeluaran uang jajan setiap minggu, berapa banyak waktu yang digunakan untuk belajar dibanding bermain, atau peluang lulus ujian berdasarkan nilai ulangan sebelumnya. Semua itu adalah aplikasi statistik sederhana yang membuat mereka lebih terampil dalam mengatur hidup.

Membangun Pola Pikir Kritis

Lebih jauh lagi, statistik melatih siswa berpikir kritis. Di era digital saat ini, kita dibanjiri informasi dan angka-angka: persentase pengangguran, angka pertumbuhan ekonomi, data pemilu, hingga klaim kesehatan. Tanpa pemahaman statistik, siswa bisa mudah termakan hoaks atau salah tafsir.

Dengan dasar statistik, siswa SMK bisa bertanya: “Apakah data ini valid? Bagaimana cara menghitungnya? Apakah sampelnya cukup mewakili?” Pola pikir kritis seperti ini sangat penting, tidak hanya di sekolah, tetapi juga sebagai bekal menjadi warga masyarakat yang cerdas.

Keterampilan Abad 21

Dunia kerja abad 21 menuntut kemampuan literasi data. Perusahaan mencari tenaga kerja yang bukan hanya bisa bekerja manual, tetapi juga mampu membaca dan menginterpretasi data. Anak SMK yang terbiasa dengan statistik akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja modern, termasuk ketika harus menggunakan software analisis data sederhana atau aplikasi manajemen bisnis.

Statistik Membuka Peluang Karier

Tidak sedikit anak SMK yang melanjutkan kuliah setelah lulus. Bagi mereka, bekal statistik menjadi modal besar. Di hampir semua jurusan, baik ekonomi, teknik, kesehatan, pertanian, maupun teknologi, ada mata kuliah statistik. Siswa yang sudah terbiasa sejak SMK akan lebih percaya diri dan tidak kesulitan mengikuti perkuliahan.

Bahkan bagi yang langsung bekerja, statistik tetap relevan. Anak SMK bisa menggunakannya untuk membuat laporan kerja yang lebih sistematis, mengolah data produksi, atau bahkan menjadi tenaga administrasi yang andal karena mampu mengelola data dengan baik.

Penutup

Statistik bukan sekadar angka yang rumit, melainkan keterampilan hidup. Ia membantu siswa SMK mengambil keputusan, membaca tren, berpikir kritis, dan bersaing di dunia kerja. Justru karena SMK menekankan pada keterampilan praktis, statistik menjadi bekal penting agar siswa tidak hanya bisa bekerja, tetapi juga mampu menganalisis dan meningkatkan kualitas pekerjaannya.

Maka, ketika siswa bertanya, “Mengapa statistik penting untuk anak SMK?”, jawabannya sederhana: karena tanpa statistik, kita hanya menebak-nebak. Dengan statistik, kita bisa melangkah lebih pasti, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.

Transformasi Sekolah dengan Teknologi Sederhana

Transformasi Sekolah dengan Teknologi Sederhana

Kata “transformasi sekolah” sering menimbulkan bayangan yang besar dan kompleks. Banyak yang mengaitkannya dengan ruang kelas pintar (smart classroom) lengkap dengan perangkat komputer terbaru, jaringan internet super cepat, proyektor interaktif, bahkan robot pembelajaran. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa transformasi sekolah hanya bisa dilakukan jika ada investasi besar dalam bentuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) berteknologi tinggi.

Namun, sesungguhnya transformasi sekolah tidak selalu identik dengan hal-hal yang rumit atau mahal. Justru dalam banyak kasus, perubahan nyata berawal dari langkah sederhana: bagaimana sekolah, guru, dan siswa menggunakan teknologi yang sudah ada di sekitar mereka secara kreatif dan efektif. Teknologi sederhana yang akrab dengan keseharian, seperti ponsel pintar, aplikasi gratis berbasis cloud, atau platform komunikasi yang mudah diakses, bisa menjadi kunci transformasi sekolah bila digunakan dengan bijak.

Teknologi Sederhana, Dampak Nyata

Mari kita ambil contoh paling dekat. Hampir semua guru dan siswa saat ini memiliki telepon pintar dengan akses internet, meskipun sederhana. Aplikasi seperti Google Form bisa menjadi media absensi digital atau jurnal mengajar digital. Guru tidak lagi perlu membuat daftar hadir maupun jurnal mengajar manual setiap hari. Guru cukup mengisi absensi atau jurnal secara online. Data otomatis masuk ke Google Sheets, dan kepala sekolah dapat memantau kehadiran secara real-time tanpa menunggu laporan rekap mingguan. Biaya yang diperlukan? Hampir nol rupiah.

Contoh berikutnya adalah penggunaan WhatsApp Group. Selama ini, grup WA hanya menjadi ruang koordinasi atau berbagi informasi cepat. Tetapi dengan sedikit kreativitas, grup WA bisa diubah menjadi ruang kelas virtual. Guru dapat membagikan materi singkat, mengirim soal kuis, atau meminta siswa memotret pekerjaan rumah mereka. Diskusi pun bisa berlangsung secara asinkron, sehingga siswa yang malu berbicara di kelas bisa lebih leluasa menyampaikan pendapat. Pemanfaatan grup WA sebagai sarana belajar ini sebagaimana telah dilakukan oleh komunitas belajar menulis PGRI selama bertahun-tahun.

Sederhana, bukan? Tetapi dampaknya besar: komunikasi antara guru dan siswa menjadi lebih intensif, interaksi pembelajaran meluas melampaui dinding kelas, dan siswa merasa terhubung lebih dekat dengan gurunya.

Penerapan dalam Pembelajaran Berbasis Proyek

Teknologi sederhana juga berperan penting dalam pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning). Bayangkan siswa SMK yang sedang melakukan praktik menanam padi, memelihara ayam, atau membuat aplikasi sederhana. Hasil kerja mereka bisa didokumentasikan dengan kamera ponsel lalu diunggah ke blog sekolah, akun media sosial kelas, atau portofolio digital.

Hasil dokumentasi itu bukan sekadar foto atau video biasa. Ia menjadi bukti nyata kemampuan siswa, portofolio yang dapat ditunjukkan saat mencari kerja, sekaligus media promosi sekolah kepada masyarakat. Dengan cara ini, sekolah tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga membiasakan siswa membangun identitas profesional sejak dini.

Lebih jauh, dokumentasi digital ini mengajarkan keterampilan abad 21: literasi digital, komunikasi efektif, dan kolaborasi. Semua itu lahir dari penggunaan teknologi yang sangat sederhana, tanpa harus menunggu datangnya laboratorium komputer canggih.

Manajemen Sekolah Lebih Efisien

Transformasi sekolah dengan teknologi sederhana tidak hanya menyentuh sisi pembelajaran, tetapi juga manajemen. Kepala sekolah dan guru bisa menggunakan aplikasi spreadsheet gratis untuk mengelola keuangan sekolah, memantau penggunaan dana BOS, hingga membuat laporan transparan yang bisa diakses oleh pihak terkait.

Di bidang administrasi akademik, penilaian siswa dapat diotomatisasi menggunakan Google Sheets atau aplikasi sederhana berbasis Python. Guru cukup memasukkan nilai mentah, lalu sistem secara otomatis menghitung rata-rata, predikat, hingga status kelulusan. Praktik ini tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga meminimalisir kesalahan manual.

Semua contoh ini menunjukkan bahwa transformasi bukanlah soal berapa besar dana yang dikeluarkan, tetapi sejauh mana sekolah mampu menggunakan teknologi yang sudah ada dengan cara kreatif.

Budaya Digital yang Inklusif

Hal yang lebih penting dari sekadar alat adalah membangun budaya digital. Teknologi sederhana bisa mengubah cara berpikir warga sekolah tentang keterbukaan, kolaborasi, dan akuntabilitas. Ketika siswa terbiasa mengisi absensi digital, guru terbiasa mengunggah materi ke platform daring, dan kepala sekolah terbiasa memantau data secara real-time, budaya digital otomatis terbangun.

Budaya inilah yang nantinya akan menjadi fondasi untuk melangkah ke level berikutnya. Jika sekolah sudah terbiasa dengan teknologi sederhana, maka penerapan sistem manajemen sekolah berbasis aplikasi besar atau smart classroom canggih akan jauh lebih mudah diterima.

Transformasi Bukan Menunggu, Tapi Memulai

Transformasi sekolah dengan teknologi sederhana mengajarkan satu hal penting: inovasi tidak harus menunggu alat mahal datang. Inovasi lahir dari keberanian memulai dengan apa yang ada. Dari absensi digital sederhana, blog sekolah, hingga portofolio siswa, semua bisa menjadi pintu masuk menuju sekolah yang lebih modern.

Kita tidak perlu menunggu bantuan besar dari pemerintah atau sponsor untuk memulai. Setiap guru bisa menjadi agen transformasi di kelasnya sendiri, setiap kepala sekolah bisa memulai dengan administrasi sederhana, dan setiap siswa bisa dilatih mendokumentasikan karya mereka.

Pada akhirnya, masa depan pendidikan bukan ditentukan seberapa modern alat yang kita gunakan, tetapi seberapa bijak kita memanfaatkannya. Transformasi sejati tidak selalu hadir dalam bentuk spektakuler, tetapi justru dalam langkah kecil yang konsisten dan berdampak nyata.

Penutup

Sekolah-sekolah yang berani memulai transformasi dengan teknologi sederhana sedang menanam benih besar bagi masa depan. Mereka membuktikan bahwa perubahan bukan monopoli lembaga besar atau kota besar dengan fasilitas lengkap. Di desa, di kabupaten, di sekolah kecil sekalipun, transformasi bisa dimulai hari ini. Caranya sederhana: gunakan teknologi yang ada, kreatif dalam pemanfaatan, dan konsisten dalam penerapan.

Maka, jangan tunggu lagi. Transformasi sekolah bisa dimulai sekarang, dengan teknologi sederhana, dari ruang kelas yang kita miliki hari ini.

Mengajar Matematika di Era Coding dan Kecerdasan Artifisial

Mengajar Matematika di Era Coding dan Kecerdasan Artifisial

Matematika kerap dianggap sebagai pelajaran yang sulit, penuh rumus, dan jarang terasa manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di era digital seperti sekarang, pandangan itu perlahan mulai berubah. Kehadiran coding dan kecerdasan artifisial (KA) membuka jalan baru: matematika ternyata bukan hanya soal hitung-hitungan, melainkan bahasa yang menggerakkan teknologi modern. 

Matematika: Bahasa Coding yang Sesungguhnya

Jika diperhatikan, hampir semua hal dalam coding adalah turunan dari matematika. Variabel, fungsi, logika if-else, hingga perulangan, semuanya berakar pada konsep matematika. Misalnya: Variabel dalam coding sama dengan konsep aljabar. Logika true-false adalah bentuk sederhana dari logika matematika. Fungsi dalam pemrograman identik dengan fungsi matematika.

Artinya, ketika siswa belajar matematika, sesungguhnya mereka sedang menyiapkan diri untuk memahami dunia coding.

Matematika di Balik Kecerdasan Artifisial

KA yang sering kita dengar—mulai dari mesin pencari, chatbot, hingga aplikasi pengenal wajah—berjalan berkat matematika. Misalnya: Statistik dan probabilitas digunakan untuk membuat prediksi. Aljabar linear dipakai dalam pengolahan gambar dan suara. Kalkulus membantu dalam proses optimasi algoritma. Teori graf digunakan dalam analisis jejaring sosial.

Sederhananya, tanpa matematika, KA tidak akan pernah lahir.

Peran Baru Guru Matematika

Di tengah perubahan zaman ini, guru matematika punya tugas yang jauh lebih penting daripada sekadar mengajarkan rumus. Guru harus menjadi fasilitator logika dan pola pikir komputasional. Caranya bisa sederhana, misalnya: Mengajak siswa membuat kode singkat untuk menghitung luas bangun datar. Melatih siswa menuliskan langkah-langkah penyelesaian soal dalam bentuk algoritma. Menggunakan data nyata, seperti hasil survei kelas, untuk dipelajari dengan bantuan aplikasi.

Dengan cara itu, siswa tidak hanya pintar berhitung, tetapi juga mampu membaca pola dan memecahkan masalah nyata.

Mengubah Cara Pandang terhadap Matematika

Belajar matematika di era coding dan KA tidak berarti semua siswa harus jadi programmer. Namun, semua siswa perlu dibekali literasi numerasi dan digital. Tujuannya sederhana: agar mereka tidak tertinggal dalam dunia yang semakin cerdas secara teknologi.

Bagi guru, ini saatnya berhenti mengajar matematika sebagai hafalan rumus. Yang lebih penting adalah melatih cara berpikir kritis, runtut, dan kreatif.

Penutup

Di masa depan, banyak pekerjaan manual akan diambil alih oleh mesin cerdas. Namun, kemampuan manusia dalam berpikir logis, menemukan pola, dan mengambil keputusan tetap tak tergantikan.

Matematika, yang kini bersanding erat dengan coding dan KA, bukan lagi sekadar ilmu berhitung. Ia adalah seni berpikir yang menuntun generasi muda memahami dunia sekaligus menaklukkan tantangan zaman digital.


Diskusi Sinkronisasi Program Berani Cerdas

Diskusi Sinkronisasi Program Berani Cerdas



Diskusi sinkronisasi program Berani Cerdas antara Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tolitoli berlangsung di Aula SKB Tolitoli pada 3 Oktober 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian sinkronisasi program sembilan BERANI yang digagas Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah dengan pemerintah daerah.

Hadir dalam forum tersebut antara lain Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tolitoli, Asisten I Provinsi, sejumlah kepala dinas terkait, para kepala bidang di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi, unsur perguruan tinggi, organisasi profesi guru (PGRI), serta para kepala SMA dan SMK. Diskusi dipimpin langsung oleh Asisten I Provinsi.

Fokus Diskusi: Pendidikan 13 Tahun dan Beasiswa

Terdapat dua isu utama yang menjadi fokus pembahasan, yaitu implementasi program pendidikan 13 tahun serta penyaluran beasiswa melalui program Berani Cerdas.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah, sebagai pembicara pertama, menegaskan pentingnya program pendidikan 13 tahun sebagai strategi peningkatan angka partisipasi sekolah. Data menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup signifikan: angka partisipasi pendidikan dasar telah mencapai 80–90 persen, sementara angka partisipasi pendidikan menengah masih sekitar 74 persen. Pertanyaan kritis yang muncul adalah: kemana arah lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah? Isu ini menegaskan perlunya sinkronisasi data dan kebijakan antara pemerintah provinsi dan kabupaten.

Beasiswa Berani Cerdas: Capaian dan Tantangan

Topik kedua yang mendapat perhatian luas adalah implementasi beasiswa Berani Cerdas. Program ini diproyeksikan menjangkau lebih dari 50.000 penerima. Hingga saat ini, lebih dari 20.000 pendaftar telah diverifikasi, dengan sekitar 5.000 mahasiswa berhasil menerima beasiswa. Para penerima tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk mahasiswa dari Universitas Madako, STIE Mujahidin, dan STIP Mujahidin Tolitoli yang turut hadir dalam diskusi.

Menjawab pertanyaan terkait peluang bagi perguruan tinggi swasta, Kadis Pendidikan Provinsi menjelaskan bahwa beasiswa dapat dialokasikan melalui dua skema pembiayaan: UKT tunggal dan UKT variabel. Untuk skema variabel, ia menekankan perlunya penyederhanaan rumusan agar proses verifikasi lebih mudah dan cepat.

Namun, isu krusial muncul terkait mekanisme pencairan beasiswa. Saat ini, dana ditransfer langsung ke rekening mahasiswa. Aspirasi perguruan tinggi agar pencairan dilakukan langsung ke rekening institusi belum dapat dipenuhi, mengingat dana beasiswa bukan termasuk dana hibah dan belum adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai bank penyalur. Kadis Pendidikan menyatakan bahwa ke depan, PKS dengan BPD akan dilakukan sehingga dana beasiswa dapat di-autodebet langsung ke rekening perguruan tinggi untuk pembayaran biaya kuliah.

Suara Lapangan: Sekolah dan Kebutuhan Industri

Diskusi ini juga menyedot perhatian para kepala SMA dan SMK. Beberapa isu lapangan yang mengemuka antara lain: Kendala akses siswa ke sekolah akibat faktor geografis dan ekonomi. Permasalahan terkait pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dan harapan adanya program pelatihan tambahan yang relevan dengan kebutuhan industri, misalnya pelatihan operator alat berat.

Catatan Kritis

Diskusi sinkronisasi ini, yang berlangsung sejak pukul 14.00 hingga 16.30 WITA, menegaskan urgensi penyelarasan program pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten. Namun, terdapat sejumlah tantangan mendasar: pertama Kesenjangan data antara pendidikan dasar dan menengah yang perlu diurai secara lebih komprehensif, bukan hanya dipaparkan secara statistik. Kedua Mekanisme beasiswa yang masih berfokus pada transfer langsung ke mahasiswa menimbulkan potensi masalah akuntabilitas dan efektivitas dalam penggunaan dana pendidikan. Ketiga Relevansi program pendidikan dengan kebutuhan industri masih menjadi titik lemah, sebagaimana aspirasi kepala sekolah mengenai kebutuhan pelatihan vokasional yang lebih kontekstual.

Dengan demikian, keberhasilan program Berani Cerdas tidak hanya bergantung pada kuantitas penerima beasiswa atau lamanya durasi wajib belajar, tetapi juga pada kualitas sinkronisasi kebijakan, ketepatan sasaran, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.

Sabtu, 27 September 2025

Antara Lima Orang, Satu Teko Teh, dan Mimpi Besar

Tolitoli, 26 September 2025

Oleh: Muliadi 

Rapat Muhammadiyah di Tolitoli sore itu nyaris batal. Bukan karena hujan, bukan pula karena listrik padam. Penyebabnya sederhana: peserta rapat. Dari sekian banyak pengurus, yang datang hanya lima orang. Jumlah yang cukup untuk adzan, iqamah, sekaligus jadi makmum.

Saya tiba di sekretariat. Yang ada hanya Pak Rustam, sekretaris PDM. Ia duduk ditemani satu teko teh yang sudah dingin. Teh itu mungkin lebih sabar daripada kebanyakan pengurus. Menunggu lama, tak juga ditenggak. Kalau ia punya mulut, barangkali sudah teriak: “Hei, rapat ini untuk saya atau untuk kalian?”

Saya pun pindah ke masjid. Di sana ada Pak Ketua PDM dan Pak Nawir, sesepuh Muhammadiyah. Sesepuh itu memang punya jam biologis berbeda. Selalu datang lebih dulu. Sementara yang muda-muda sering datang belakangan—kalau datang. Alasan klasik: sibuk.

Setengah lima sore lewat, jumlah peserta masih segitu-gitu saja. Untung kemudian Pak Kepala MTs hadir. Lalu disusul Pak Rustam. Lengkaplah lima orang. Pas. Rapat pun dibuka.

Topiknya keren: Hasil kegiatan LPPCR di Gorontalo, bil khusus soal Akademi Marbut Masjid Muhammadiyah (AM3). Namanya gagah, seperti program global. Tapi apa daya, pesertanya hanya cukup untuk main kartu remi.

Pak Rustam membuka rapat sambil menceritakan bagaimana marbut mengelola masjid dengan baik dan profesional. Masjidnya sampai punya cafe dan seterusnya. 

Pak Suhaili menambahkan tentang ide kegiatan atau program tahfidz, tilawah, tahsin dan tafsir di Masjid. Program ini menurut beliau penting selain meningkatkan pemahaman tentang Al-Quran, juga dapat menjadi sarana pencetak dai Muhammadiyah. 

Pak Nawir, sang sesepuh, bicara lebih tajam: Muhammadiyah Tolitoli sedang krisis kader pendakwah. Solusinya? Segera bangun TPA di Lelean Nono. Jangan cuma wacana. TPA itu bisa jadi cikal bakal pesantren pencetak dai muda Muhammadiyah. Kata beliau, kalau Muhammadiyah tak segera mencetak kader dakwah, maka nanti khutbah Jum’at di Masjid Muhammadiyah bisa saja bukan lagi style Muhammadiyah .

Pak Ketua PDM kemudian berbagi pengalaman tentang masjid di Sragen yang dikelola profesional. Ia sudah mencoba menirunya lewat Jum’at Berkah. Bedanya, di Sragen program itu berjalan setiap subuh, sementara disini baru sebatas Jum'at subuh.

Giliran saya diminta bicara. Padahal, niat saya hanya ingin mendengar. Tapi kalau sesepuh sudah menoleh, menolak itu seperti menolak dipanggil makan gratis. Akhirnya saya bicara.

Saya sampaikan bahwa Muhammadiyah sedang digiring ke arah profesional. Tiga kali pengurus ikut pelatihan yang di selenggarakan oleh PP Muhammadiyah. Isinya sama secara garis besar: tata kelola organisasi harus rapi. Muhammadiyah punya aset besar, tapi kalau dikelola seadanya, ya hasilnya seadanya juga. Malah bisa jadi masalah.

Itulah kenapa saya selalu lebih suka bicara tentang sistem, bukan sekadar program. Program penting, tapi tanpa perencanaan matang, program hanya akan jadi foto seremonial di spanduk, hilang setelah acara bubar.

Rapat sore itu ditutup oleh suara azan. Masih ada sisa argumen yang belum tersampaikan, tetapi azan "Marbut" sudah tidak memberi toleransi. Sambil menyeruput es teh yang makin encer Pak Rustam menutup dengan ayat pamungkas " "نَصۡرٌ مِّنَ اللّٰهِ وَفَتۡحٌ قَرِيْبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ" (Nashrum minallahi wa fathun qarib wa basyiril mu'minin)

Apa tindak lanjutnya? Itu urusan nanti. Di Muhammadiyah, rapat memang sering jadi ajang tafsir: serius saat bicara, cair saat bubar.

Tapi jangan salah. Justru dari rapat lima orang, satu teko teh, dan sejuta tafsir inilah Muhammadiyah Tolitoli membuktikan diri: ia mungkin lambat, tapi tetap bergerak. Dan bergerak, sekecil apa pun, masih lebih mulia daripada diam sambil berdebat di warung kopi.

Rabu, 10 September 2025

Manusia, Fitrah, dan Konsep Diri: Pentingnya Lingkungan Positif dalam Pendidikan

Palu, 10 September 2025

Islam mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, yaitu keadaan suci, bersih, dan terbuka untuk menerima kebenaran. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa manusia sejak lahir membawa potensi alami untuk kebaikan, namun arah perkembangan dirinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama orang tua, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, konsep diri seorang manusia tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh referensi dan pengalaman yang diperolehnya setiap hari.

1. Perspektif Islam: Fitrah dan Lingkungan

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS. Ar-Rum: 30)

Ayat ini menunjukkan bahwa potensi iman dan kebaikan sudah tertanam dalam diri setiap manusia, namun lingkungan—baik keluarga maupun masyarakat—berperan besar dalam mengarahkan fitrah itu menuju kebaikan atau sebaliknya.

2. Perspektif Psikologi dan Sosial

Pandangan ini sejalan dengan teori psikologi dan sosiologi modern:

  • Teori Belajar Sosial (Albert Bandura): manusia belajar melalui pengamatan (observational learning). Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari orang-orang di sekitarnya menjadi model yang ditiru dan diinternalisasi.

  • Teori Interaksionisme Simbolik (Mead & Cooley): konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial. Looking glass self menyatakan seseorang melihat dirinya sebagaimana ia membayangkan orang lain menilainya.

  • Teori Ekologi Perkembangan (Urie Bronfenbrenner): perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai lapisan lingkungan, mulai dari keluarga (mikrosistem) hingga budaya dan kebijakan (makrosistem).

Ketiga teori ini memperkuat bahwa lingkungan yang konsisten memberikan nilai, contoh, dan penguatan positif akan membentuk konsep diri positif pada individu.

3. Bagaimana Sekolah Membentuk Lingkungan Positif

Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, melainkan lingkungan sosial kedua setelah keluarga yang sangat menentukan pembentukan kepribadian siswa. Agar sekolah mampu memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku siswa, ada beberapa langkah strategis:

  1. Budaya Sekolah yang Religius dan Berkarakter

    • Membiasakan doa bersama, shalat berjamaah, salam, senyum, dan sapa.

    • Menanamkan nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab melalui kegiatan sehari-hari.

  2. Keteladanan Guru dan Tenaga Kependidikan

    • Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga teladan. Sikap guru dalam berbicara, berpakaian, bekerja, dan menghadapi masalah menjadi cermin langsung bagi siswa.

  3. Lingkungan Fisik yang Tertata dan Ramah

    • Sekolah yang bersih, hijau, dan nyaman menciptakan suasana hati yang positif. Tata ruang yang rapi mengajarkan keteraturan.

  4. Sistem Pembelajaran yang Menguatkan Karakter

    • Pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan kontekstual menumbuhkan tanggung jawab, kreativitas, serta kepedulian sosial.

    • Penilaian tidak hanya kognitif, tetapi juga aspek sikap dan keterampilan.

  5. Penguatan Komunitas Sekolah

    • Menciptakan komunitas belajar yang sehat, saling menghargai, tanpa perundungan (bullying).

    • Melibatkan orang tua dan masyarakat agar nilai yang ditanamkan di sekolah berkesinambungan dengan rumah.

  6. Konsistensi dalam Aturan dan Penguatan Positif

    • Aturan ditegakkan secara adil dan konsisten.

    • Siswa diberi apresiasi atas perilaku baik, bukan hanya dihukum ketika salah.

Dengan demikian, lingkungan sekolah yang positif akan menjadi referensi sehari-hari bagi siswa dalam membentuk konsep dirinya. Apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di sekolah secara konsisten akan menuntun mereka pada perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.

Kesimpulan

Islam melalui konsep fitrah dan hadits Nabi ﷺ menekankan pentingnya lingkungan dalam membentuk kepribadian manusia. Hal ini senada dengan teori psikologi dan sosial yang menyatakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi dan pengalaman dari lingkungan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak cukup hanya dengan memberikan pengetahuan, melainkan yang paling utama adalah menciptakan lingkungan sekolah yang positif, konsisten, dan bernilai, sehingga siswa tumbuh menjadi pribadi beriman, berakhlak mulia, dan memiliki perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu, 27 Agustus 2025

Aneh

 Rabu, 27 Agustus 2025.

Hari itu, saya melangkah ke sebuah kelas dengan perasaan biasa saja, tanpa firasat apa pun. Namun, apa yang saya temukan di dalamnya benar-benar di luar dugaan.

Seorang guru duduk di depan kelas, matanya terpaku pada layar ponsel. Tidak ada suara penjelasan, tidak ada diskusi, hanya keheningan yang aneh. Sementara itu, beberapa siswa juga sibuk dengan HP mereka sendiri. Saya tak bisa menebak, apakah mereka sedang membaca materi, mengerjakan tugas, atau justru bermain game. Yang pasti, suasana kelas itu lebih mirip ruang tunggu ketimbang ruang belajar.

Namun yang paling mengejutkan bukanlah itu. Di sudut ruangan, empat atau lima siswa terlihat berbaring santai di lantai. Ada yang merebahkan diri seolah berada di rumah, bahkan salah satu di antaranya melepas seragamnya, bertelanjang dada di tengah pelajaran. Pemandangan itu membuat langkah saya seketika terhenti.

Saya menatap sang guru, menunggu reaksi. Tapi tidak ada. Wajahnya datar, seakan-akan semua itu adalah hal biasa. Dengan nada datar pula ia menjawab pertanyaan saya:

“Pelajaran apa ini, Pak?”

“KJ 2,” katanya singkat.

“Bapak guru yang mengajar?”

“Iya.”

“Bukan guru pengganti?”

“Bukan.”

Jawaban itu membuat saya semakin bingung. Rasanya ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Saya melangkah keluar, meninggalkan kelas itu dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Dalam hati saya bergumam, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?”

Mungkin saya harus mencari jawabannya besok, atau di hari lain. Untuk saat ini, saya hanya bisa menahan diri. Karena sering kali, apa yang tampak di depan mata tidak selalu menggambarkan apa yang dipikirkan. 

Semoga saja saya mendapatkan jawaban yang masuk akal.

Salam waras

Minggu, 24 Agustus 2025

Refleksi Raport Pendidikan SMKN 1 Galang Tahun 2025


Tahun ini (2025) kita menerima kabar baik dari rapor pendidikan. Dibandingkan dengan tahun lalu, kemampuan numerasi siswa SMKN 1 Galang meningkat paling tinggi. Ini adalah bukti bahwa kerja keras kita mulai menampakkan hasil. Lebih membanggakan lagi, indikator karakter siswa menjadi capaian terbaik. Sungguh ini adalah pencapaian yang patut kita syukuri bersama, karena artinya anak-anak kita tumbuh dengan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kejujuran. Setidaknya yang baik lebih dominan daripada yang kurang baik.

Namun, di balik kabar baik itu, ada pesan penting yang tidak boleh kita abaikan. Rapor pendidikan juga menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran kita masih berada pada titik terendah. Salah satu penyebabnya adalah metode mengajar kita yang belum banyak berubah, masih cenderung konvensional, dan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan anak-anak kita hari ini.

Mari kita renungkan bersama, Bapak Ibu. Anak-anak yang setiap hari kita temui di kelas, mereka tumbuh di zaman yang sangat berbeda dengan zaman kita dahulu. Mereka membutuhkan pembelajaran yang bukan hanya membuat mereka tahu, tetapi juga membuat mereka bisa berpikir kritis, bekerja sama, berani mencoba, dan berani belajar dari kesalahan.

Di sinilah peran kita begitu besar. Kita bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi sedang membentuk masa depan mereka. Apa yang kita lakukan hari ini di kelas, akan menjadi bekal hidup mereka kelak. Karena itu, kualitas pembelajaran harus menjadi perhatian utama kita bersama.

Bapak Ibu yang saya banggakan, dorongan untuk berubah ini tidak hanya datang dari rapor pendidikan, tetapi juga dari perhatian besar Bapak Gubernur kita. Melalui program Berani Berkah, beliau mengingatkan kita semua agar pendidikan tidak hanya mengasah otak, tetapi juga menumbuhkan akhlak. Program Berani Berkah diwujudkan dalam kegiatan nyata seperti shalat berjamaah di sekolah. Kegiatan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga menjadi sarana untuk membentuk kebersamaan, kedisiplinan, dan karakter spiritual anak-anak kita.

Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan program pendidikan terbaru dengan 7 Kebiasaan Baik yang diadaptasi dari The 7 Habits. Program ini mengajarkan anak-anak untuk proaktif, mampu mengatur prioritas, berpikir menang-menang, dan membiasakan kolaborasi. Jika kita terapkan secara konsisten, 7 Kebiasaan Baik akan menjadi budaya sekolah yang membentuk karakter anak-anak kita agar lebih siap menghadapi dunia kerja dan kehidupan.

Bayangkan, Bapak Ibu, jika rapor pendidikan yang kita terima ini kita respon dengan semangat program Berani Berkah dan 7 Kebiasaan Baik. Maka kualitas pembelajaran kita bukan hanya akan meningkat, tetapi juga berpadu dengan kekuatan karakter dan spiritualitas siswa. Inilah pendidikan yang utuh, pendidikan yang membentuk kecerdasan sekaligus hati.

Bapak Ibu yang saya cintai, kita semua tentu ingin melihat anak-anak kita berhasil, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Dan itu hanya bisa terwujud bila kita mau berubah, mau membuka diri, dan mau berinovasi. Perubahan memang tidak mudah, tapi bukankah kita selalu mengajarkan kepada siswa bahwa belajar itu berarti berani mencoba hal baru? Maka marilah kita juga meneladankan itu.

Mari jadikan rapor pendidikan ini bukan sebagai beban, tetapi sebagai cermin yang menunjukkan di mana kita perlu memperbaiki diri. Dengan dukungan program Berani Berkah, dengan pembiasaan 7 Kebiasaan Baik, dan dengan komitmen kita semua, saya yakin SMKN 1 Galang bisa menjadi sekolah yang bukan hanya mencetak siswa cerdas, tetapi juga manusia yang berkarakter kuat, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Sabtu, 23 Agustus 2025

PELAKSANAAN OJT-1 Diklat Koding dan KA Fase E dan F di Kab. Tolitoli




Pelatihan OJT-1 Guru Koding dan Kecerdasan Artifisial Berlangsung Lancar di SMKN 1 Galang

Tolitoli – Pelaksanaan kegiatan On the Job Training (OJT-1) bagi guru peserta diklat koding dan kecerdasan artifisial (KA) berjalan lancar dan penuh antusias. Kegiatan ini berlangsung selama satu hari pada Sabtu, 23 Agustus 2025, bertempat di SMKN 1 Galang, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.

Sebanyak sembilan dari sebelas peserta yang berasal dari berbagai SMA dan SMK di wilayah Kabupaten Tolitoli hadir dalam kegiatan ini. Dua peserta lainnya tidak dapat mengikuti OJT-1 karena alasan yang telah dikonfirmasi, yakni satu orang sedang berada di luar kota dan satu lagi sakit.

Kegiatan OJT-1 merupakan bagian dari rangkaian program diklat nasional dalam rangka menyiapkan guru mata pelajaran koding dan KA, yang akan mulai diterapkan secara resmi pada tahun pelajaran 2025/2026 di seluruh Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan kemampuan guru dalam merancang serta melaksanakan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan kecerdasan buatan.

Selama kegiatan berlangsung, para peserta melakukan refleksi dan analisis pembelajaran melalui video praktik mengajar yang sebelumnya telah diunggah ke Learning Management System (LMS). Refleksi dilakukan dengan menggunakan pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) untuk mengidentifikasi kelebihan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang mereka hadapi dalam pembelajaran di kelas masing-masing.


Diskusi Kelompok: Analisis dan refleksi Video Pembelajaran

Peserta bekerja dalam kelompok diskusi, menyusun peta konsep di atas kertas plano, dan mempresentasikan hasilnya di hadapan fasilitator dan seluruh peserta. Kegiatan ini diakhiri dengan penguatan materi dari fasilitator, yang menekankan pentingnya perencanaan pembelajaran yang matang, pemanfaatan teknologi secara efektif, penguasaan materi, serta pelibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran mendalam.

Kendati dua peserta tidak hadir, pelatihan ini tetap dianggap berhasil dan membawa dampak positif. LPD Mitra Edukasi selaku penyelenggara menekankan bahwa kehadiran penuh dan partisipasi aktif sangat penting, mengingat kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi guru secara individu, tetapi juga bagi institusi pendidikan tempat mereka mengajar.







Senin, 11 Agustus 2025

Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

 Jiwa Pendidik yang Hilang: Mengapa Guru Modern Kehilangan Pesonanya?

Refleksi Perjalanan Pendidikan di SMKN 1 Galang



Tolitoli, 11 Agustus 202

Bayangkan sebuah kelas di mana jam dinding berdetak lambat, siswa menunggu dengan gelisah, tapi guru datang terlambat seolah itu hal biasa. Tak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya, seolah waktu siswa bukanlah harta berharga. Lalu, saat pelajaran berakhir, ia buru-buru pulang, meninggalkan tumpukan pertanyaan siswa yang menggantung. Izin mendadak? Oh, itu seperti rutinitas harian, tanpa memikirkan apa yang terjadi pada siswa yang ditinggalkan sendirian di kelas. Mengajar pun jadi autopilot: tanpa evaluasi, tanpa refleksi, tanpa khawatir apakah ilmu itu benar-benar terserap atau tidak.

Ini bukan cerita fiksi dari novel distopia pendidikan. Ini adalah gambaran nyata yang sering kita lihat di sekolah-sekolah hari ini. Pertanyaan besarnya: Apa yang hilang dari diri seorang guru dalam dunia pendidikan modern? Mari kita kupas tuntas dalam artikel ini, dengan harapan bisa membangkitkan semangat para pendidik untuk kembali ke akarnya.

1. Rasa Tanggung Jawab: Fondasi yang Retak

Ingat saat kecil, guru adalah sosok seperti pahlawan super yang selalu tepat waktu, siap membimbing kita melewati labirin pengetahuan? Sayangnya, hari ini, banyak guru yang datang terlambat atau pulang cepat tanpa beban. Yang hilang di sini adalah rasa tanggung jawab yang seharusnya menjadi DNA seorang pendidik.

Bayangkan jika seorang pilot pesawat cuek dengan jadwal terbang—penumpang pasti panik! Begitu juga dengan guru: setiap menit di kelas adalah peluang emas untuk membentuk masa depan. Tanpa dedikasi ini, pendidikan jadi seperti pabrik massal, bukan tempat tumbuh kembang. Guru yang baik seharusnya merasa gelisah jika siswa kehilangan waktu belajar, karena itulah esensi profesi ini: sebuah panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan 9-to-5.

2. Empati: Hati yang Mati Rasa

"Guru izin hari ini, kelas libur!" Kata-kata itu mungkin terdengar biasa bagi siswa, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Siswa yang tertinggal mungkin kehilangan motivasi, atau bahkan merasa ditinggalkan. Di sinilah empati hilang dari diri guru.

Empati bukan sekadar kata manis dalam buku psikologi; itu adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan siswa. Saat guru mengambil izin tanpa memikirkan dampaknya—seperti "tidak ada kekhawatiran apa yang terjadi dengan siswa yang ditinggalkan"—pendidikan kehilangan sisi humanisnya. Siswa bukan robot yang bisa dipause; mereka manusia dengan emosi, mimpi, dan kebutuhan. Guru yang empati akan bertanya: "Bagaimana jika siswa saya butuh bimbingan hari ini?" Tanpa itu, kelas jadi tempat dingin, bukan rumah kedua yang hangat.

3. Refleksi Diri: Cermin yang Berdebu

Mengajar tanpa khawatir apakah siswa berhasil atau gagal? Tak ada evaluasi, tak ada refleksi? Ini seperti mengemudikan mobil tanpa melihat spion—berbahaya! Yang hilang adalah sikap reflektif, di mana guru seharusnya selalu mengevaluasi dirinya sendiri.

Dalam pendidikan ideal, setelah setiap pelajaran, guru bertanya: "Apa yang berhasil? Apa yang perlu diperbaiki?" Ini bukan soal perfeksionisme, tapi tentang pertumbuhan. Tanpa refleksi, mengajar jadi rutinitas membosankan, tanpa inovasi. Siswa zaman sekarang butuh metode kreatif—video interaktif, diskusi kelompok, atau teknologi AI—bukan ceramah monoton. Hilangnya refleksi membuat pendidikan stagnan, seperti sungai yang tak mengalir, akhirnya mati suri.

4. Etika dan Integritas: Moral yang Luntur

Akhirnya, yang paling krusial adalah etika profesional dan integritas. Saat izin jadi alasan mudah untuk menghindari tanggung jawab, atau mengajar tanpa passion, itu menunjukkan prioritas pribadi di atas kewajiban moral. Guru seharusnya punya rasa bersalah jika melalaikan tugas, karena mereka adalah role model bagi siswa.

Bayangkan siswa meniru sikap ini: datang terlambat ke sekolah, cuek dengan tugas. Akibatnya? Generasi yang kurang bertanggung jawab. Etika membuat profesi guru mulia; tanpanya, itu hanya pekerjaan biasa. Guru yang berintegritas akan selalu ingat: "Saya bukan hanya mengajar mata pelajaran, tapi membentuk karakter."

Dampak Besar dan Jalan Keluar

Hilangnya elemen-elemen ini bukan hanya masalah individu, tapi bencana bagi sistem pendidikan. Siswa kehilangan motivasi, kualitas lulusan menurun, dan masyarakat akhirnya menderita karena kurangnya pemimpin berkualitas. Tapi, ada harapan! Guru bisa kembali ke jiwa pendidik autentik melalui pelatihan refleksi diri, dukungan dari institusi seperti supervisi rutin, dan ingat visi awal: pendidikan sebagai alat pemberdayaan.

Para guru, mari introspeksi: Apa yang membuat Anda memilih profesi ini? Kembalikan rasa tanggung jawab, empati, refleksi, dan etika itu. Siswa Anda menunggu pahlawan mereka kembali. Dan bagi kita semua, dukunglah pendidik dengan apresiasi yang layak—karena masa depan ada di tangan mereka.

Apa pendapat Anda? Bagikan pengalaman di kolom komentar, dan mari bangun pendidikan yang lebih baik bersama!