Pages - Menu

Kamis, 06 April 2023

Bantuan alat ukur, untuk apa?



Melihat daftar alat pertanian yang dapat diusulkan dalam program bantuan peralatan praktek SMK tahun 2023, membuat penulis penasaran. Pasalnya, antara kebutuhan yang diharapkan dengan list daftar barang yang dibolehkan, jauh panggang dari api alias tidak ketemu. Sepertinya tujuan pemerintah dan harapan sekolah dalam pemberian bantuan ini kurang match, dan mungkin inilah tujuan asistensi itu. 

Tahun ini, beberapa SMK diundang oleh dinas pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah untuk melakukan asistensi bantuan alat praktek. Kegiatan berlangsung 3 hari, tanggal 25-27 Maret 2023 yang lalu, di Hotel Santika Palu. 

Panitia mengundang kepala sekolah dan ketua jurusan. Jadi, jika yang diundang 3 orang, maka berarti sekolah itu mendapat bantuan peralatan untuk dua jurusan. Kebetulan sekolah penulis hanya dua orang. Jurusan yang mendapat bantuan memang hanya jurusan pertanian khususnya bidang keahlian ATPH meski pun sekolah kami memiliki 6 bidang keahlian dari 5 jurusan. 

 "jangan mengusulkan alat yang tidak ada dalam daftar, itu tidak bisa" Tegas tim verifikasi saat acara pembukaan. Kecewa? , ada, tapi sedikit. 

Harapan itu tiba-tiba muncul lagi saat ibu Kadis memberikan sambutan. "Kalaupun ada alat yang diperlukan tetapi tidak ada dalam daftar, silakan diusulkan terpisah, siapa tau bisa kita anggarkan di APBD provinsi" Urai ibu kadis sedikit menghibur.

Siapa tau, itu berarti tidak pasti atau bahkan tidak mungkin, mengingat terbatasnya APBD. Tetapi setidaknya harapan masih ada. 

Mencermati situasi itu akhirnya penulis bersama ketua jurusan ATPH. Ibu Wahida, SP. Sepakat, tidak mengusulkan alat yang tidak tercantum dalam daftar atau juknis. Sulit dikabulkan. "Pilih saja yang ada dalam daftar" Saran penulis. 

Mulailah kami memilih satu persatu alat yang akan diusulkan melalui daftar alat yang dibagikan oleh panitia kepada masing-masing perwakilan sekolah. 

Yang menarik perhatian penulis adalah list peralatan yang ada dalam daftar. Hampir sebagian besar alat ukur. Penulis memperkirakan sekitar 70 hingga 80 persennya. 

Muncul pertanyaan dalam benak penulis, mengapa dan untuk apa pemerintah memberikan alat ukur dengan berbagai jenis itu? Alat ukurnya lumayan canggih, serba digital pula, sudah tentu semuanya terkait dengan kegiatan pertanian. 

Padahal ditahun sebelumnya alat yang sama sebagian besar sudah ada. Mirisnya sebagian besar pula tidak digunakan. Harganya juga lumayan mahal. Bukankah ini pemborosan? Kerugian hampir pasti. 

Pertanyaan tersebut terus menggelitik nurani penulis. Namun, penulis yakin, bahwa pemerintah  pasti memiliki tujuan dan harapan mulia dengan bantuan ini. Utamanya jika dikaitkan dengan pembentukan kompetensi siswa di bidang pertanian. 

Karena itu, penulis mulai mencoba mencerna dan menelisik hikma dibalik bantuan ini sambil merefleksikan kembali apa yang terjadi dengan bantuan-bantuan sebelumnya. 

Bukankah tujuan utama jurusan ATPH dan ATP yang diberi bantuan itu adalah menyiapkan Peserta Didik memasuki lapangan kerja dengan mengembangkan sikap profesional di bidang agribisnis tanaman pangan dan holtikultura dan atau perkebunan? 

Untuk bisa dinilai profesional, pekerja harus menunjukkannya melalui kualitas kerja dan kepribadian. Dalam istilah lainnya, Hard skill dan softskills-nya harus bagus. Pada konteks ini yang dimaksud tentu skill yang terkait dengan kualitas kerja di bidang agribisnis tanaman pangan dan holtikultura atau tanaman perkebunan. 

Artinya siswa SMK jurusan ATPH dan ATP itu harus memiliki keahlian spesifik dalam mengelola pertanian. Bertani dengan penuh perhitungan. Berbasis data sesuai tantangan alam, kondisi tanah, iklim dan cuaca. Mengelola lahan dengan teknologi. Bekerja secara efektif, efisien, dan ekonomis. 

Jadi, tidak asal bertani. Tidak asal menanam. Jika berpraktik, tidak asal berpraktik. Atau hanya bertani sebagaimana petani konvensional bertani. Ya, harus profesional. Bertani dengan prosedur dan standar kerja yang tinggi. Pokoknya menjadi petani yang berbeda dari petani umumnya. 

Bayangan penulis, pemerintah ingin siswa SMK seperti itu. Maka di berikanlah bantuan alat ukur. 

Pesan pentingnya, sebelum memutuskan untuk membudidayakan suatu jenis tanaman, siswa harus menilai dulu situasi dan kondisi yang dihadapi. Agar pertumbuhan, perkembangan, dan hasil pertanian yang dikelola oleh siswa jauh lebih baik dari cara bapaknya atau masyarakat umumnya bertani. 

Misalnya tanaman apa yang akan dibudidayakan. Menilainya bagaimana? Lakukan survei pasar. Pilih jenis tanaman yang laku di pasar agar bisnisnya menguntungkan. 

Setelah terpilih jenis tanamannya, langkah berikutnya, persyaratan lingkungan yang bagaimana yang diperlukan tanaman tersebut. Apa yang dilakukan? Sudah pasti dengan melakukan pengukuran. 

Ukur luas lahan yang akan ditanami sesuai target produksi. Pakai apa? Alat ukur lahan. Teodolit. Ukur PH tanah, pakai alat ukur PH tanah. 

Ukur hara tanah, pakai alat ukur hara tanah. 

Ukur kelembaban udara, pakai alat ukur kelembaban udara. 

Ukur curah hujan, pakai alat ukur curah hujan. Dst. 

Setelah data-data hasil pengukuran diperoleh, lakukan analisis data. Analisis pula kebutuhan tanaman sesuai hasil analis data lingkungan. Jika ada yang kurang dari kondisi yang perlukan, maka lakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya, jika PH kurang, maka tanah diberi kapur dulu, atau perlakuan lain yang dibutuhkan. Intinya, lakukan rekayasa lingkungan tumbuh kembang tanaman sesuai kebutuhannya. 

Dari penjelasan tersebut, jelas terlihat untuk apa pemerintah memberikan bantuan alat ukur. Jadi, jika ada alat ukur yang tidak digunakan selama ini, maka hal tersebut mengindikasikan lemahnya pembelajaran kejuruan, khususnya dibidang pertanian. 

Artinya pembelajaran kejuruan selama ini, mungkin memang belum optimal. Pembelajaran pertanian baru mempraktikkan hal- hal yang sederhana. Belum menyentuh aspek substansi agribisnis. Belum ada perbedaan signifikan antara cara bertani orang tua siswa yang petani dengan anaknya yang belajar di sekolah pertanian. Atau jangan-jangan malah cara bertani para petani konvensional lebih baik dari cara bertani alumni SMK yang dilatih oleh yang katanya profesional. 

Lalu bagaimana bisa, kita berharap memperoleh Peserta Didik yang memiliki sikap profesional di bidang agribisnis tanaman pangan dan holtikultura atau perkebunan jika pembelajaran yang dilakukan abai dengan berbagai persyaratan itu? Itu hampir mustahil. 

Solusinya bagaimana? Ya, harus bertransformasi dari cara pembelajaran yang biasa saja, menjadi cara pembelajaran yang berorientasi mutu. Penulis menyarankan lakukan pembelajaran dengan pola pikir bisnis melalui Tefa (Teaching Factory). Dengan pola pikir bisnis, maka pembelajaran akan lebih produktif, terukur, terkendali, efektif, efisien, ekonomis, dan menguntungkan baik finansial maupun dalam pembentukan sikap kerja. 

Pembelajaran kejuruan dengan pola pikir bisnis akan mendorong efisiensi penggunaan alat dan bahan, membiasakan siswa bekerja dengan target mutu, meng-habituasi sikap kerja yang baik, meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis siswa, menumbuhkan jiwa Interprenursif, dan membiasakan manajemen kerja yang baik. 

Tolitoli, 6 April 2023

Muliadi

Wassalam





2 komentar: