Semalam saya mengikuti kegiatan belajar bicara PGRI. Acara ini adalah acara yang digagas oleh Om Jay guru bloger Indonesia setiap selasa malam dan kamis malam. Kenapa belajar bicara? yah, karena bicara adalah kebutuhan guru. Boleh dikata, bicara adalah pekerjaan guru sehari-hari. Namun, kemampuan berbicara setiap guru ternyata tidak sama. Apalagi kalau harus berhadapan dengan publik atau orang banyak yang bukan dari orang-orang yang familier dengannya. Tidak jarang dari kawan-kawan guru menjadi grogi, tidak percaya diri. Akibatnya pembicaraannya menjadi tidak beraturan.
Berangkat dari fakta tersebut, maka belajar bicara (public speaking) PGRI public yang digagas oleh Om Jay ini menjadi sangat penting dan menarik. Apalagi pada kegiatan ini, guru tidak hanya belajar bagaimana bicara, tetapi juga akan mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari para pakar yang sengaja dihadirkan pada setiap kegiatan. Beberapa pembicara hebat yang telah mengisi acara belajar bicara PGRI ini, yaitu ibu Dr. Nugrahaeni (Pakar komunikasi publik), Bapak Munif Chatib (Penulis buku best seller dan praktisi pendidikan), dan nanti akan menyusul Bapak Dedy Dwitagama (Pakar public speaking), dan lainnya.
Menarik menyimak apalagi mendikusikan apa yang menjadi pemikiran para pembicara hebat ini. Salah satunya adalah paparan Munif Chatib dalam tema "Menjadi Guru manusia dimasa pandemi".
Munif Chatib mengawali paparan dengan memberikan ilustrasi sebuah sekolah hutan dimana belajar segala macam hewan. Setiap hewan yang akan masuk ke sekolah hutan harus di tes sesuai kemampuannya. Kelinci mendaftar, kelinci dengan bangganya menceritakan dan membuktikan kemampuan berlari. Elang mendaftar, elang pun menceritakan dan membuktikan kemampuan terbangnya. Demikian seterusnya setiap hewan yang masuk ke sekolah hutan di tes sesuai dengan kemampuan dan bakatnya.
Alhasil, pada tahun ajaran baru terkumpulah "siswa" sekolah hutan dengan beragam kemampuan, bakat, dan minatnya masing-masing. Sayang dalam proses pembelajaran, ternyata semua "siswa" sekolah hutan di "paksa" mengikuti kurikulum sekolah tanpa kecuali. Lalu apa yang terjadi? Kelinci dengan kemampuan lari yang dia banggakan di "paksa" belajar berenang. Elang dengan kemampuan terbang yang luar biasa di "paksa" belajar menggali tanah. Demikian seterusnya setiap "siswa" menjalani proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya.
Lalu apa yang terjadi? Pada setiap ujian atau ulangan, hampir setiap "siswa" di sekolah hutan tersebut tidak lulus. Setiap siswa di sekolah hutan memiliki nilai rendah. Stigma negatif pun melekat pada mereka. Bodoh, nakal dan prilaku negatif lainnya akhirnya menjadi label yang disematkan pada setiap siswa. Hilang semua kemampuan yang mereka banggakan. Yang tersisa tinggal kesedihan dan perasaan bodoh karena tidak mampu memenuhi tuntutan tes yang dibuat berdasarkan perspektif sekolah hutan.
Luar biasa metafora sekolah hutan yang digambarkan oleh Munif Chatib. Melalui sekolah hutan, pak Munif seakan menyindir bagaimana sekolah kita dikelola. Keragaman dan keunikan siswa di sekolah, ternyata belum sepenuhnya mampu mendapat perlakuan yang tepat. Kecenderungan melihat kecerdasan siswa hanya dari mata pelajaran tertentu atau aspek tertentu, telah menempatkan sebagian besar siswa gagal mengembangkan potensi dirinya.
Diakui atau tidak paradigma nilai yang dirujuk berdasarkan aspek knowledge masih menjadi pegangan umum disekolah. Sementara aspek lainnya cenderung terabaikan. Akibatnya siswa dengan nilai rendah pada mata pelajaran matematika, meskipun memiliki kemampuan yang baik pada bidang seni tetap saja akan menjadi siswa yang bodoh. Padahal, menilai bebek dengan kemampuan berlari, atau menilai elang dari kemampuannya menggali tanah hanyalah kesia-sian. Sampai kapanpun bebek tidak sehebat kelinci dalam berlari. Demikian pula kemampuan elang menggali tanah tidak akan sehebat musang. Jadi mengukur kecerdasan anak yang hobi seni dari kemampuan matematika atau sebaliknya sangat tidak relevan.
Menurut Munif Chatib, setiap anak unik. Setiap anak cerdas sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dalam belajar pun masing-masing anak memiliki style sendiri yang disebut gaya belajar. Oleh karena itu, memperlakukan siswa secara homogen tanpa memperhatikan karakteristik mereka tentu tidak tepat.
Siswa bukan robot, yang dapat dikonstruksi sekehendak hati pembuatnya. Tapi mereka adalah manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Siswa merupakan subyek belajar yang membawa semua potensi kemanusiaan. Mereka anak manusia yang punya minat, cita-cita, dan harapan yang beragam . Oleh sebab itu, menjadi guru bagi siswa harus memahami semua potensi kemanusiaan. Dengan istilah Munif Chatib disebut gurunya manusia.
Untuk dapat memahami dengan baik bagaimana seharusnya menempatkan siswa dalam konteks pembelajaran dengan segala potensinya, maka menurut Munif Chatib guru harus melihat siswa atau anak dari 5 paradigma berikut, yaitu:
1. Memandang bahwa setiap siswa atau anak adalah juara. Setiap siswa istimewa bagaimana pun kondisinya
2. Potensi siswa seluas samudra, yang meliputi psiko motorik, psiko afetif, dan psiko knowledge
3. Setiap anak cerdas dengan multi intelegensi, kecerdasan tidak terkait dengan kondisi fisik, brain, atau hasil tes standar. Kecerdasan telah mengalami re-defenisi, kecerdasan terbentuk dari kebiasaan, yaitu sebagai hasil dari perilaku yang diulang-ulang
4. Untuk menemukan harta terpendam yang dimiliki oleh anak (discovery ability), maka guru harus mampu menyelam dan menemukan potensi terpendam anak
5. Setiap anak memiliki bakat, potensi, Hobi, bakat, dan minat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar