Pages - Menu

Selasa, 22 September 2020

BDR antara Harapan dan Realitas

 

BDR antara Harapan dan Realitas

Setiap proses belajar dan pembelajaran senantiasa mengharapkan keberhasilan yang tinggi. Tidak terkecuali kegiatan belajar dan pembelajaran yang dilaksanakan dari rumah atau BDR. Kegiatan belajar dari rumah (BDR) merupakan pilihan yang harus ditempuh mengingat dua kepentingan yang harus sama-sama terpenuhi, yaitu layanan belajar dan selamat dari ancaman penularan covid 19. Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah melalui kemendikbud  sampai harus menerbitkan pedoman penyelenggaraan BDR Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 melalui surat edaran nomor 15 Tahun 2020. Menurut Chatarina Muliana Girsang surat edaran tersebut bertujuan memperkuat Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19 (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/05/kemendikbud-terbitkan-pedoman-penyelenggaraan-belajar-dari-rumah)

Belajar adalah hak dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu layanan belajar dalam situasi dan kondisi apapun diupayakan agar selalu dapat dipenuhi secara layak. Guru sebagai perancang sekaligus implementator pembelajaran diharapkan selalu dapat memberikan layanan pembelajaran bermutu meskipun situasi dan kondisi tidak sepenuhnya mendukung. Prinsipnya dalam berbagai situasi, guru harus dapat menyiasati kegiatan belajar agar tetap berjalan efektif.

Salah satu strategi belajar yang harus diambil dalam menyiasati situasi dan kondisi saat ini adalah BDR. Melalui kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) setidaknya siswa tetap dapat memenuhi hak belajarnya sesuai kalender pendidikan. Hal ini sejalan dengan tujuan pelaksanaan  Belajar Dari Rumah (BDR) sebagaimana disebutkan dalam edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yaitu  memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua.

Lalu bagaimana kenyataannya? Harus diakui tidak mudah mewujudkan BDR yang efektif. Bagaimanapun juga BDR merupakan adaptasi baru yang oleh sebagian besar siswa dan guru cukup membingungkan. Siswa yang terbiasa berada dalam control penuh guru pada saat belajar di kelas, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan belajar dengan control yang terbatas dan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Akibatnya kegiatan belajar siswa dirumah umumnya tidak berjalan efektif.

Dari data kehadiran siswa dalam kegiatan belajar daring (online) di salah satu SMK di Tolitoli ternyata rata-rata kehadiran siswa berada dibawah 50%. Bahkan dalam hal menyelesaikan tugas dari guru ternyata tidak lebih dari 30% siswa menyelesaikan tugas yang diberikan.  Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi siswa sangat rendah.  

Sehubungan dengan pelaksanaan BDR ini beberapa fakta menarik dapat menjadi referensi bagi guru yang melaksanakan BDR. Dalam suatu kesempatan penulis mencoba melakukan survey untuk mengungkap pandangan siswa terhadap BDR yang sedang berjalan. Dari hasil survey tersebut terungkap sejumlah fakta menarik.

Media daring yang paling disukai siswa

Menurut siswa dari sejumlah media daring yang digunakan oleh guru selama BDR ternyata yang paling disukai siswa adalah pesan tertulis WA. Faktanya sebagaimana ditunjukkan oleh diagram dibawah ini.

Media daring yang paling disukai siswa

Sumber : Survey daring SMKN 1 Tolitoli  

Dari diagram di atas ternyata siswa yang memilih pesan tertulis WA sebagai media belajar daring ditunjukkan oleh balok berwarna hijau. Umumnya siswa beralasan bahwa pesan tertulis WA lebih hemat pulsa, sudah sering digunakan, dan mudah dioperasikan. Pilihan kedua yang paling disukai adalah webinar atau vicon, pada diagram di atas ditunjukkan oleh balok berwarna biru. Menurut siswa media ini disukai karena dapat bertatap muka langsung dengan guru. Kemudian pilihan ketiga adalah kombinasi WA atau telegram dan youtube, pada diagram di atas ditunjukkan oleh balok berwarna ungu.  

Pembelajaran yang paling disukai saat ini

Meskipun pandemic Covid-19 masih terjadi hingga saat ini, namun faktanya proses pembelajaran yang paling diminati siswa adalah tetap saja tatap muka di sekolah. Dari fakta yang ada 86% siswa memilih untuk belajar tatap muka di sekolah. Hanya 14% siswa memilih belajar online melalui internet atau daring. Sementara sisanya, yaitu kunjungan rumah baik individu maupun kelompok ternyata tidak lebih dari 3%. Hal ini berarti PJJ dengan pendekatan luring atau kunjungan ke rumah faktanya cenderung kurang disukai siswa.

            Sumber : Survey daring SMKN 1 Tolitoli  

Tugas yang diberikan guru

Salah satu masalah yang dihadapi guru dan siswa dalam belajar dari rumah adalah tugas. Sebenarnya tugas dalam belajar adalah hal yang biasa, tetapi mengapa menjadi luar biasa ketika BDR berlangsung. Hal ini terjadi karena tugas sebagai proses belajar dan tugas sebagai assessement kadang-kadang sulit dipisahkan. Fakta menunjukkan dalam seminggu umumnya siswa menerima 5-6 tugas setiap minggu. 41% siswa mengaku menerima tugas dari guru antara 5-6 tugas, 35% siswa mengaku menerima tugas 3 sampai 4 setiap minggu.

            Sumber : Survey daring SMKN 1 Tolitoli  

Tugas sebanyak itu menurut siswa ternyata cukup memberatkan. Hal ini terjadi menurut siswa karena banyak materi yang tidak dimengerti karena kurang penjelasan dari guru. Fasilitas belajar yang terbatas, kondisi lingkungan rumah yang tidak mendukung dan jaringan internet yang kurang baik turut memperberat penyelesaian tugas yang diberikan.

Dari hasil survey diketahui ternyata 44% siswa mengatakan tugas yang diberikan guru sangat banyak. Meskipun demikian 55% siswa mengaku beban tugas yang diberikan sudah sesuai.


            Sumber : Survey daring SMKN 1 Tolitoli  

Fakta lain yang juga menarik adalah tentang kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru. 46% siswa mengaku hanya dapat menyelesaikan 75% dari seluruh tugas yang diberikan oleh guru tepat waktu 22% siswa mengaku hanya dapat menyelesaikan 50% tugas. 8% mengaku dapat menyelesaikan kurang dari 50% tugas. Sementara yang mengaku dapat menyelesaikan semua tugas tepat waktu sebanyak 23%.

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Sehingga dengan fakta ini guru perlu mencari strategi pemberian tugas tepat agar tujuan dan fungsi tugas yang diberikan tetap optimal.

Mungkin ada baiknya guru mempertimbangkan saran dari komisioner KPAI Retno Listyarti. Meskipun beliau saat ini bertugas sebagai salah satu komisioner KPAI namun beliau juga mantan guru dan kepala sekolah. Artinya saran dan pandangan beliau tentang pembelajaran cukup kompeten.

Dalam  suatu artikel yang dimuat oleh Republika.co.id (Rabu 18 Mar 2020 15:40 WIB) Retno Listyarti  menyarankan agar soal atau tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa harus terukur maksimal dapat dikerjakan dalam waktu 30 menit. Menurut beliau tugas yang diberikan agar jangan berbarengan dan sebaiknya diberikan oleh rumpun mata pelajaran. Demikian juga jenis tugas jangan melulu berupa soal tetapi boleh berupa tugas yang lebih variatif seperti membaca buku dan menuliskan resume.

Harapan dan realitas dalam BDR memang masih cukup jauh. Tidak mudah mengadaptasikan suatu kebiasaan baru. Meskipun demikian upaya untuk memaksimalkan hasil dengan berbagai strategi dan pendekatan harus tetap dilakukan. Oleh karena itu, memahami kelemahan bukan untuk mematahkan semangat, tetapi justru menjadi pemicu dan pemacu diri dalam mewujudkan BDR yang lebih baik lagi.

Wassalamualaikum

Rabu, 02 September 2020

P3 (Pungutan Pendanaan Pendidikan) dan Potensi Offside



Oleh Muliadi, M.Pd

Sekretaris PGRI Tolitoli

Menarik sekaligus membuat miris membaca tulisan Dudung Nurullah Koswara “Diskursus Dana Partisipasi Orang Tua”. Latar tulisan menginformasikan kejadian yang menimpa SMAN 1 Cikampek Kabupaten Karawang Jawa Barat pada Kamis, 10 September 2020. Kejadian tersebut persis atau mirip dengan kejadian yang menimpah kepala SMA di Sulteng beberapa tahun lalu. Kejadiannya sama, yaitu sama-sama terjaring kasus Pungli oleh Tim Saber Pungli. Uniknya kejadian di Sulteng, memberi hikma atas terbitnya Pergub Sulteng Nomor 10 tahun 2017 tentang Pungutan dan Sumbangan.  

Beruntung sekali SMA/SMK di Sulteng dapat melaksanakan pungutan tanpa harus takut terjaring Tim Saber Pungli. Berkat Pergub tersebut kepala sekolah leluasa mengumpulkan dana P3 untuk mendukung dana BOS yang dianggap belum cukup. Dapat dibayangkan berapa banyak kepala sekolah yang harus berhadapan dengan hukum hanya karena Pungutan. Tetapi karena ada Pergub Pungli, maka pungutan P3 dapat berjalan mulus di sekolah.

Tapi apakah pelaksanaan pungutan di SMA/SMK itu benar-benar aman? Tunggu dulu. Pergub terbit bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dana pendidikan melalui partisipasi masyarakat atau hanya sekedar memberikan perlindungan kepada para kepala sekolah. Tetapi Pergub dibuat dan diterbitkan juga sebagai bentuk keberpihakan (afirmatif action) kepada pihak-pihak terkait. Oleh karena itu dalam penerapannya Pergub harus dapat memenuhi rasa keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Untuk maksud tersebut, meskipun Pergub membolehkan adanya pungutan, tetapi syarat dan ketentuannya harus dipatuhi,

Disinilah perlunya kehati-hatian para pelaksana pungutan P3. Sebab jika tidak berhati-hati apalagi dengan sengaja melakukan pelanggaran, maka tidak mungkin para kepala sekolah akan terkena offside. Masih bagus jika offside, tetapi kalau penalti bisa runyam masalahnya. Jika tidak berhati-hati bukan tidak mungkin para pelaku pungutan akan mengalami nasib yang sama seperti yang menimpah saudara kita di atas.

PGRI Sulteng merupakan salah satu motor penggerak lahirnya Pergub. Tentu harapannya agar pelaksanaan Pergub benar-benar dapat memberikan kemaslahatan kepada semua pihak. Dalam hal ini biaya pendidikan terpenuhi dan rasa keadilan tetap dapat dinikmati. Rasa keadilan tentu bukan hanya sekedar jumlah, rasa keadilan harus dapat memenuhi seluruh aspek nilai. Termasuk didalamnya nilai kejujuran, tranparansi, akuntabilitas dan ketaatan terhadap azas.

PGRI sebagai rumah besar bagi guru tentu punya kepentingan untuk melindungi para anggotanya dari berbagai masalah, termasuk masalah hukum. Tetapi perlindungan yang diberikan tentu bukan hanya sekedar ketika anggota PGRI itu tertimpa masalah. Bagaimanapun juga perlindungan yang terbaik adalah tindakan preventif.

Meskipun PGRI sebagai organisasi besar yang secara struktur memiliki lembaga bantuan hukum. Tetapi jika kasus hukum sudah menimpah apalagi sudah berjalan, maka pasti tidak banyak yang dapat dilakukan oleh PGRI. PGRI sebagai organisasi harus taat hukum, PGRI juga harus menghormati hukum. Tidak ada orang atau entitas apapun di negeri ini yang kebal hukum, meminjam istilah dari Nurullah equality before the law.  Setiap orang sama dimata hukum, oleh karenanya sebelum masalah hukum menimpa, maka sebaiknya bersikap arif dan bijak dalam melakukan sesuatu.

Tentu kita sepakat, bahwa pelaksanaan pungutan (P3) di sekolah yang berjalan saat ini jangan sampai bermasalah. Oleh karena itu, mengingatkan tentu lebih baik dari pada membiarkan seolah-olah semuanya berjalan baik-baik saja. Bagaimanapun juga harus diakui pelaksanaan pungutan secara substansi telah dilarang. Paling tidak terdapat tiga peraturan yang menjelaskan soal larangan pungutan.

Peraturan pertama adalah Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan di satuan pendidikan dasar. Dari peraturan inilah muncul terminology pungutan yang kemudian menjadi rujukan setiap peraturan yang terkait. Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 disebutkan bahwa Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.

Terminologi pungutan diatas secara konseptual membedakan pengertian pungutan dan sumbangan. Sehingga dengan konsep tersebut, setiap orang dapat membedakan mana pungutan dan mana sumbangan.  Muslim B Putra menegaskan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan itu berbentuk bantuan dan/atau sumbangan dan bukan pungutan (Artikel Pemberantasan Pungli di Sekolah, OMBUDSMAN R,I 2018). Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 9 Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 (1) Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. (2) Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapatkan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah pada tahun ajaran berjalan, dapat memungut biaya pendidikan yang digunakan hanya untuk memenuhi kekurangan biaya investasi dan biaya operasi.   

Peraturan kedua yang menegaskan soal larangan pungutan adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah. Secara umum peraturan ini mengatur soal struktur dan kedudukan komite. Tetapi justru disanalah urgensinya, dimana dalam peraturan ini justru komite sekolah baik perorangan maupun kolektif dilarang melakukan pungutan (pasal 12 huruf b). Konsekuensi dari peraturan ini, maka pungutan berbentuk dana komite yang ditarik oleh sekolah selama ini dilarang. Dapat dikatakan bahwa sejak terbitnya Permendikbud ini istilah dana komite sudah tidak ada lagi. Akibatnya, kepala sekolah yang kedapatan melakukan pungutan dana komite dapat terjerat kasus pungli, sebagaimana kejadian atau kasus di atas.  

Nah agar tidak terkena kasus pungli, maka terbitlah Pergub Nomor 10 Tahun 2017. Pergub ini adalah peraturan ketiga yang terkait pungli. Pergub Nomor 10 Tahun 2017 merupakan respon atas Permendikbud yang melarang soal pungutan. Jika ingin jujur semestinya Pergub ini tidak mesti harus ada, karena larangan soal pungutan sudah lama berjalan. Tetapi karena sikap proaktif Pemerintah Daerah atas masalah peningkatan mutu pendidikan yang dipandang masih memerlukan dukungan biaya, maka terbitlah Pergub ini.

Menurut Upi Fitriyanti, S.P (Artikel OMBUDSMAN RI, Jum'at, 29/03/2019) sesungguhnya tidak ada larangan untuk melakukan pungutan atau sumbangan yang bersumber dari masyarakat dalam hal ini peserta didik atau orang tua/wali selama syarat dan ketentuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Tentu saja penyataan Upi tersebut benar, tetapi dengan syarat. Jika syarat tidak dipenuhi maka pungutan pasti terlarang.

Andaikan dilapangan bola, syarat dan ketentuan mengenai pungutan seperti sebuah marka. Marka tersebut menjadi batasan-batasan yang mesti diperhatikan oleh para pemain agar tidak terkena offside. Sebab jika tidak diperhatikan, maka tidak mustahil para pemain akan terkena semprit. Itu tentu masih lebih baik, dari pada harus terkena penalty apalagi kartu merah.

Dalam Pergub ini paling tidak ada empat hal yang dapat membuat para pemain P3 terjebak offside. Pertama adalah soal penetapan besaran P3. Dalam Pergub ini disebutkan bahwa pungutan dilarang apabila dalam perhitungan perencanaan kebutuhan sekolah RAPBS yang ditetapkan oleh sekolah dan disetujui oleh komite sekolah lebih kecil atau sama dengan BOS yang diterima. Ini artinya P3 bisa tidak ada atau Rp. 0,- jika dana BOS sama dengan besar anggaran RAPBS.

Simulasinya kira-kira sebagai berikut: P3 = (Nilai APBS - BOS) : (Jumlah siswa - jumlah siswa kurang mampu). Dari sinilah diperoleh nilai besaran P3 untuk tahun berjalan. Berdasarkan rumus tersebut, jika nilai APBS = BOS, maka nilai P3 pasti bernilai nol. Artinya tidak ada tagihan P3 yang berarti pula ketentuan pasal 11 pada Pergub Nomor 10 Tahun 2017 tidak dapat dijalankan. Dalam hal ini tidak perlu lagi melihat besaran maximal pungutan yang dapat ditagihkan.

Proses penetapan di atas sesuai dengan konsep P3 sebagai dana penunjang dan bukan dana utama dalam memenuhi kebutuhan layanan mutu pendidikan. Pada pasal 48 huruf a PP 48 tahun 2008 disebutkan tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik dalam pendanaan ditujukan untuk menutupi kekurangan pendanaan satuan pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Jadi jelas RAPBS ditetapkan lebih dahulu baru P3 karena P3 dimaksudkan hanya untuk menutupi kekurangan.

Disinilah garis offside yang paling potensial dilanggar oleh para kepala sekolah dalam melakukan pungutan. Dalam prakteknya sangat mungkin terjadi seperti rumus berikut APBS = P3 + BOS. Dalam hal ini besaran P3 jelas tidak bergantung pada APBS. Tetapi P3 justru berdiri sendiri sebagai variabel bebas yang justru menentukan besaran nilai APBS. Pada posisi ini dana P3 bukan lagi sebagai dana penunjang, tetapi dana yang berdiri sendiri yang kedudukannya sama dengan dana BOS sebagai dana utama.

Proses penetapan P3 seperti itu bisa jadi hanya sebuah pelanggaran administrative. Tetapi yang harus diingat adalah dengan proses yang sungsang seperti itu cenderung mengelimir substansi P3 sebagai dana penunjang. Boleh jadi prinsip keadilan juga akan hilang. Artinya peluang siswa untuk tidak membayar P3 tidak akan mungkin terpenuhi karena besaran P3 ditetapkan terlebih dahulu baru kemudian RAPBS disusun. Jika ditelisik lebih dalam lagi, pelanggaran seperti itu bisa dengan mudah disusupi oleh kepentingan yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya bisa fatal, bukan hanya pelanggaran administrative tapi bisa berujung pada pelanggaran hukum.

Peraturan kedua yang potensial menjebak para pengelola P3 melakukan offside adalah pada aspek proses akademik. Pada pasal 10 huruf b disebutkan pungutan dilarang dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar, dan atau kelulusan. Garis offside ini sangat mungkin dilanggar mengingat kebiasaan sekolah memungut dana pada saat penerimaan siswa baru. Biasanya dengan alasan untuk memenuhi biaya tertentu, maka siswa baru diberikan beban P3 selama beberapa bulan. Pada hal sangat jelas larangan tentang hal itu.

Peraturan ketiga yang potensial menjebak adalah terkait siswa dari ekonomi lemah. Pada pasal 10 huruf a disebutkan pungutan dilarang dilakukan pada peserta didik atau orang tua/wali yang tidak mampu secara ekonomis. Dengan pendekatan penetapan P3 yang keliru atau tidak berhati-hati sangat mungkin siswa atau peserta didik yang kurang mampu akan ikut membayar P3. Biasanya hal ini terjadi pada saat penerimaan siswa baru. Dimana setiap siswa tanpa memandang status mereka semuanya harus mematuhi persyaratan yang diberikan oleh sekolah. Disinipun pelaksana P3 bisa terjebak offside, baik disengaja atau tidak.

Peraturan lainnya yang potensial membuat pengelola P3 terjebak offside adalah aspek pemanfaatan P3. Kurangnya pemahaman terhadap penggunaan dana P3 memungkinkan dana P3 digunakan untuk membiayai hal yang tidak dibenarkan. Pada pasal 12 dan 13 misalnya disebutkan bahwa pemanfataan pungutan meliputi biaya personalia satuan pendidikan. Biaya tersebut meliputi honorarium bagi pendidik dan tenaga kependidikan honorer yang diangkat oleh kepala sekolah. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, maka bisa jadi dana P3 masih digunakan membayar honor guru PNS baik untuk tunjangan jabatan maupun untuk mengajar.

Ke empat hal tersebut di atas perlu secara cermat diterjemahkan dan implementasikan secara benar oleh pimpinan satuan pendidikan. Sebab jika tidak maka tidak menutup kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Pergub Sulteng Nomor 10 Tahun 2017 tentang pungutan dan sumbangan pendidikan terbit bukan hanya untuk melindungi kepala sekolah atau personilnya dari pelaksanaan pungutan di sekolah. Tetapi lebih dari itu, Pergub juga berfungsi memberikan jamiman atas terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak, terutama pihak-pihak yang kurang beruntung.

Penggalangan dana pendidikan melalui dana masyarakat untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan sebenarnya sangat terbuka. Kreativitas dan inovasi dari pimpinan satuan pendidikan tentu memainkan peran penting. Dudung Nurullah mengingatkan sekolah dan komite sekolah harus kreatif dan jeli menangkap peluang potensi orangtua. Termasuk potensi finansial para orangtua kaya. Mengapa tidak mereka diminta memberikan sumbangan? Tentu dengan prosedural yang tidak bertentangan dengan peraturan tertinggi di negeri ini. Pungutan sudah tidak boleh, sumbangan sangat boleh (Dudung Nurullah Koswara, PB PGRI).

Kalaupun pungutan P3 masih dibolehkan di Sulawesi Tengah, namun syarat dan ketentuan pelaksanaannya jangan sampai dilanggar. PGRI tentu sangat respek dengan upaya setiap satuan pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dana pendidikan. Tetapi PGRI juga perlu mengirimkan sinyal bahaya (warning) jika langkah yang tempuh telah melampaui batasan-batasan yang ditentukan. Bukankah orang bijak mengatakan lebih baik mencegah dari pada mengobati. Lebih baik berhati-hati dari pada setengah mati. Dari pada terjaring Tim Saber Pungli lebih baik berpikir berkali-kali.

Wassalam