Oleh Muliadi, M.Pd
Sekretaris PGRI Tolitoli
Menarik sekaligus
membuat miris membaca tulisan Dudung Nurullah Koswara “Diskursus Dana Partisipasi Orang
Tua”. Latar tulisan menginformasikan kejadian yang menimpa SMAN 1
Cikampek Kabupaten Karawang Jawa Barat pada Kamis, 10 September 2020. Kejadian tersebut
persis atau mirip dengan kejadian yang menimpah kepala SMA di Sulteng beberapa
tahun lalu. Kejadiannya sama, yaitu sama-sama terjaring kasus Pungli oleh Tim
Saber Pungli. Uniknya kejadian di Sulteng, memberi hikma atas terbitnya Pergub
Sulteng Nomor 10 tahun 2017 tentang Pungutan dan Sumbangan.
Beruntung sekali
SMA/SMK di Sulteng dapat melaksanakan pungutan tanpa harus takut terjaring Tim
Saber Pungli. Berkat Pergub tersebut kepala sekolah leluasa mengumpulkan dana P3
untuk mendukung dana BOS yang dianggap belum cukup. Dapat dibayangkan berapa
banyak kepala sekolah yang harus berhadapan dengan hukum hanya karena Pungutan.
Tetapi karena ada Pergub Pungli, maka pungutan P3 dapat berjalan mulus di
sekolah.
Tapi apakah pelaksanaan
pungutan di SMA/SMK itu benar-benar aman? Tunggu dulu. Pergub terbit bukan
semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dana pendidikan melalui partisipasi
masyarakat atau hanya sekedar memberikan perlindungan kepada para kepala
sekolah. Tetapi Pergub dibuat dan diterbitkan juga sebagai bentuk keberpihakan
(afirmatif action) kepada pihak-pihak
terkait. Oleh karena itu dalam penerapannya Pergub harus dapat memenuhi rasa
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Untuk maksud tersebut, meskipun Pergub membolehkan
adanya pungutan, tetapi syarat dan ketentuannya harus dipatuhi,
Disinilah perlunya
kehati-hatian para pelaksana pungutan P3. Sebab jika tidak berhati-hati apalagi
dengan sengaja melakukan pelanggaran, maka tidak mungkin para kepala sekolah
akan terkena offside. Masih bagus jika offside, tetapi kalau penalti bisa
runyam masalahnya. Jika tidak berhati-hati bukan tidak mungkin para pelaku pungutan
akan mengalami nasib yang sama seperti yang menimpah saudara kita di atas.
PGRI Sulteng merupakan
salah satu motor penggerak lahirnya Pergub. Tentu harapannya agar pelaksanaan
Pergub benar-benar dapat memberikan kemaslahatan kepada semua pihak. Dalam hal
ini biaya pendidikan terpenuhi dan rasa keadilan tetap dapat dinikmati. Rasa
keadilan tentu bukan hanya sekedar jumlah, rasa keadilan harus dapat memenuhi seluruh
aspek nilai. Termasuk didalamnya nilai kejujuran, tranparansi, akuntabilitas
dan ketaatan terhadap azas.
PGRI sebagai rumah
besar bagi guru tentu punya kepentingan untuk melindungi para anggotanya dari
berbagai masalah, termasuk masalah hukum. Tetapi perlindungan yang diberikan
tentu bukan hanya sekedar ketika anggota PGRI itu tertimpa masalah. Bagaimanapun
juga perlindungan yang terbaik adalah tindakan preventif.
Meskipun PGRI sebagai
organisasi besar yang secara struktur memiliki lembaga bantuan hukum. Tetapi jika
kasus hukum sudah menimpah apalagi sudah berjalan, maka pasti tidak banyak yang
dapat dilakukan oleh PGRI. PGRI sebagai organisasi harus taat hukum, PGRI juga
harus menghormati hukum. Tidak ada orang atau entitas apapun di negeri ini yang
kebal hukum, meminjam istilah dari Nurullah equality
before the law. Setiap orang sama
dimata hukum, oleh karenanya sebelum masalah hukum menimpa, maka sebaiknya bersikap
arif dan bijak dalam melakukan sesuatu.
Tentu kita sepakat,
bahwa pelaksanaan pungutan (P3) di sekolah yang berjalan saat ini jangan sampai
bermasalah. Oleh karena itu, mengingatkan tentu lebih baik dari pada membiarkan
seolah-olah semuanya berjalan baik-baik saja. Bagaimanapun juga harus diakui
pelaksanaan pungutan secara substansi telah dilarang. Paling tidak terdapat
tiga peraturan yang menjelaskan soal larangan pungutan.
Peraturan pertama
adalah Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya
pendidikan di satuan pendidikan dasar. Dari peraturan inilah muncul terminology
pungutan yang kemudian menjadi rujukan setiap peraturan yang terkait. Dalam Permendikbud
Nomor 44 Tahun 2012 disebutkan bahwa Pungutan adalah penerimaan biaya
pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar
yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang
bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya
ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Terminologi pungutan
diatas secara konseptual membedakan pengertian pungutan dan sumbangan. Sehingga
dengan konsep tersebut, setiap orang dapat membedakan mana pungutan dan mana
sumbangan. Muslim B Putra menegaskan
bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan itu berbentuk bantuan
dan/atau sumbangan dan bukan pungutan (Artikel Pemberantasan Pungli di Sekolah,
OMBUDSMAN R,I 2018). Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 9 Permendikbud Nomor 44
tahun 2012 (1) Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. (2)
Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapatkan
bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah pada tahun ajaran berjalan, dapat
memungut biaya pendidikan yang digunakan hanya untuk memenuhi kekurangan biaya
investasi dan biaya operasi.
Peraturan kedua yang
menegaskan soal larangan pungutan adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016
tentang komite sekolah. Secara umum peraturan ini mengatur soal struktur dan
kedudukan komite. Tetapi justru disanalah urgensinya, dimana dalam peraturan
ini justru komite sekolah baik perorangan maupun kolektif dilarang melakukan
pungutan (pasal 12 huruf b). Konsekuensi dari peraturan ini, maka pungutan
berbentuk dana komite yang ditarik oleh sekolah selama ini dilarang. Dapat
dikatakan bahwa sejak terbitnya Permendikbud ini istilah dana komite sudah
tidak ada lagi. Akibatnya, kepala sekolah yang kedapatan melakukan pungutan
dana komite dapat terjerat kasus pungli, sebagaimana kejadian atau kasus di
atas.
Nah agar tidak terkena
kasus pungli, maka terbitlah Pergub Nomor 10 Tahun 2017. Pergub ini adalah
peraturan ketiga yang terkait pungli. Pergub Nomor 10 Tahun 2017 merupakan
respon atas Permendikbud yang melarang soal pungutan. Jika ingin jujur
semestinya Pergub ini tidak mesti harus ada, karena larangan soal pungutan
sudah lama berjalan. Tetapi karena sikap proaktif Pemerintah Daerah atas
masalah peningkatan mutu pendidikan yang dipandang masih memerlukan dukungan biaya,
maka terbitlah Pergub ini.
Menurut Upi Fitriyanti,
S.P (Artikel OMBUDSMAN RI, Jum'at, 29/03/2019) sesungguhnya tidak ada
larangan untuk melakukan pungutan atau sumbangan yang bersumber dari masyarakat
dalam hal ini peserta didik atau orang tua/wali selama syarat dan ketentuannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi prinsip keadilan, kecukupan
dan keberlanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PP 48/2008 tentang
Pendanaan Pendidikan. Tentu saja penyataan Upi tersebut benar, tetapi
dengan syarat. Jika syarat tidak dipenuhi maka pungutan pasti terlarang.
Andaikan dilapangan
bola, syarat dan ketentuan mengenai pungutan seperti sebuah marka. Marka tersebut
menjadi batasan-batasan yang mesti diperhatikan oleh para pemain agar tidak
terkena offside. Sebab jika tidak diperhatikan, maka tidak mustahil para pemain
akan terkena semprit. Itu tentu masih lebih baik, dari pada harus terkena
penalty apalagi kartu merah.
Dalam Pergub ini paling
tidak ada empat hal yang dapat membuat para pemain P3 terjebak offside. Pertama
adalah soal penetapan besaran P3. Dalam Pergub ini disebutkan bahwa pungutan
dilarang apabila dalam perhitungan perencanaan kebutuhan sekolah RAPBS yang
ditetapkan oleh sekolah dan disetujui oleh komite sekolah lebih kecil atau sama
dengan BOS yang diterima. Ini artinya P3 bisa tidak ada atau Rp. 0,- jika dana
BOS sama dengan besar anggaran RAPBS.
Simulasinya kira-kira sebagai
berikut: P3 = (Nilai APBS - BOS) : (Jumlah siswa - jumlah siswa kurang mampu).
Dari sinilah diperoleh nilai besaran P3 untuk tahun berjalan. Berdasarkan rumus
tersebut, jika nilai APBS = BOS, maka nilai P3 pasti bernilai nol. Artinya
tidak ada tagihan P3 yang berarti pula ketentuan pasal 11 pada Pergub Nomor 10 Tahun
2017 tidak dapat dijalankan. Dalam hal ini tidak perlu lagi melihat besaran
maximal pungutan yang dapat ditagihkan.
Proses penetapan di
atas sesuai dengan konsep P3 sebagai dana penunjang dan bukan dana utama dalam
memenuhi kebutuhan layanan mutu pendidikan. Pada pasal 48 huruf a PP 48 tahun
2008 disebutkan tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta
didik dalam pendanaan ditujukan untuk menutupi kekurangan pendanaan satuan
pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Jadi jelas RAPBS
ditetapkan lebih dahulu baru P3 karena P3 dimaksudkan hanya untuk menutupi
kekurangan.
Disinilah garis offside
yang paling potensial dilanggar oleh para kepala sekolah dalam melakukan
pungutan. Dalam prakteknya sangat mungkin terjadi seperti rumus berikut APBS =
P3 + BOS. Dalam hal ini besaran P3 jelas tidak bergantung pada APBS. Tetapi P3
justru berdiri sendiri sebagai variabel bebas yang justru menentukan besaran
nilai APBS. Pada posisi ini dana P3 bukan lagi sebagai dana penunjang, tetapi
dana yang berdiri sendiri yang kedudukannya sama dengan dana BOS sebagai dana
utama.
Proses penetapan P3
seperti itu bisa jadi hanya sebuah pelanggaran administrative. Tetapi yang harus
diingat adalah dengan proses yang sungsang seperti itu cenderung mengelimir substansi
P3 sebagai dana penunjang. Boleh jadi prinsip keadilan juga akan hilang. Artinya
peluang siswa untuk tidak membayar P3 tidak akan mungkin terpenuhi karena
besaran P3 ditetapkan terlebih dahulu baru kemudian RAPBS disusun. Jika
ditelisik lebih dalam lagi, pelanggaran seperti itu bisa dengan mudah disusupi
oleh kepentingan yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya bisa fatal, bukan hanya
pelanggaran administrative tapi bisa berujung pada pelanggaran hukum.
Peraturan kedua yang
potensial menjebak para pengelola P3 melakukan offside adalah pada aspek proses
akademik. Pada pasal 10 huruf b disebutkan pungutan dilarang dikaitkan dengan
persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar,
dan atau kelulusan. Garis offside ini sangat mungkin dilanggar mengingat
kebiasaan sekolah memungut dana pada saat penerimaan siswa baru. Biasanya
dengan alasan untuk memenuhi biaya tertentu, maka siswa baru diberikan beban P3
selama beberapa bulan. Pada hal sangat jelas larangan tentang hal itu.
Peraturan ketiga yang
potensial menjebak adalah terkait siswa dari ekonomi lemah. Pada pasal 10 huruf
a disebutkan pungutan dilarang dilakukan pada peserta didik atau orang tua/wali
yang tidak mampu secara ekonomis. Dengan pendekatan penetapan P3 yang keliru
atau tidak berhati-hati sangat mungkin siswa atau peserta didik yang kurang
mampu akan ikut membayar P3. Biasanya hal ini terjadi pada saat penerimaan
siswa baru. Dimana setiap siswa tanpa memandang status mereka semuanya harus
mematuhi persyaratan yang diberikan oleh sekolah. Disinipun pelaksana P3 bisa
terjebak offside, baik disengaja atau tidak.
Peraturan lainnya yang
potensial membuat pengelola P3 terjebak offside adalah aspek pemanfaatan P3.
Kurangnya pemahaman terhadap penggunaan dana P3 memungkinkan dana P3 digunakan
untuk membiayai hal yang tidak dibenarkan. Pada pasal 12 dan 13 misalnya disebutkan
bahwa pemanfataan pungutan meliputi biaya personalia satuan pendidikan. Biaya tersebut
meliputi honorarium bagi pendidik dan tenaga kependidikan honorer yang diangkat
oleh kepala sekolah. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, maka bisa jadi
dana P3 masih digunakan membayar honor guru PNS baik untuk tunjangan jabatan
maupun untuk mengajar.
Ke empat hal tersebut
di atas perlu secara cermat diterjemahkan dan implementasikan secara benar oleh
pimpinan satuan pendidikan. Sebab jika tidak maka tidak menutup kemungkinan hal-hal
yang tidak diinginkan akan terjadi. Pergub Sulteng Nomor 10 Tahun 2017 tentang
pungutan dan sumbangan pendidikan terbit bukan hanya untuk melindungi kepala
sekolah atau personilnya dari pelaksanaan pungutan di sekolah. Tetapi lebih
dari itu, Pergub juga berfungsi memberikan jamiman atas terpenuhinya rasa
keadilan bagi semua pihak, terutama pihak-pihak yang kurang beruntung.
Penggalangan dana
pendidikan melalui dana masyarakat untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan
sebenarnya sangat terbuka. Kreativitas dan inovasi dari pimpinan satuan
pendidikan tentu memainkan peran penting. Dudung Nurullah mengingatkan sekolah
dan komite sekolah harus kreatif dan jeli menangkap peluang potensi orangtua.
Termasuk potensi finansial para orangtua kaya. Mengapa tidak mereka diminta
memberikan sumbangan? Tentu dengan prosedural yang tidak bertentangan dengan
peraturan tertinggi di negeri ini. Pungutan sudah tidak boleh, sumbangan sangat
boleh (Dudung Nurullah Koswara, PB PGRI).
Kalaupun pungutan P3
masih dibolehkan di Sulawesi Tengah, namun syarat dan ketentuan pelaksanaannya
jangan sampai dilanggar. PGRI tentu sangat respek dengan upaya setiap satuan
pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dana pendidikan. Tetapi PGRI juga perlu
mengirimkan sinyal bahaya (warning) jika langkah yang tempuh telah melampaui
batasan-batasan yang ditentukan. Bukankah orang bijak mengatakan lebih baik mencegah
dari pada mengobati. Lebih baik berhati-hati dari pada setengah mati. Dari pada
terjaring Tim Saber Pungli lebih baik berpikir berkali-kali.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar