Setelah mengisi bensin kami langsung berangkat. Tidak terlalu laju, kecepatan mobil hanya 40 km per jam. Maklum masih dalam kota. Apalagi waktu sudah memasuki waktu magrib. Sambil jalan kami juga sesekali mengamati setiap masjid yang kami lewati apakah sudah masuk waktu shalat atau belum.
Tepat didepan kuburan para bangsawan Tolitoli kami berhenti. Kebetulan didepan kuburan itu ada masjid. Jadi kami masjid bukan ke kuburan ..he..he. Disana kami singga shalat magrib. Setelah berwudhu kami gunakan masker, kemudian bergabung dengan jamaah lainnya. Ada jaga jarak sedikit, tapi tidak 1 meter. Maklum inikan shalat bukan senam pagi. Tapi meski demikian tetap jaga protokol kesehatan. Jangan sampai kita atau keluarga kita yang menjadi korban.
Beberapa hari lalu, saya juga pernah ke tempat ini. Waktu itu saya bersama om Deny turut mengantar almarhumah ibunda bapak wakil Bupati Tolitoli. Hj Nuraeni Bantilan, beliau meninggal di Surabaya dan dikuburkan di Tolitoli.
Sedikit saya ceritakan bagaimana suasana duka saat itu. Almarhumah dikebumikan pada hari Jum'at. Karena bagian dari keluarga bangsawan maka prosesi pemakaman dilakukan secara adat.
Setelah dishalatkan dimasjid agung Toli-toli, almarhumah ditandu menggunakan potongan kayu bundar sebesar betis orang dewasa. Tandu dirancang secara khusus untuk mengusung keranda.
Seluruh permukaan keranda ditutupi dengan kain kuning keemasan. Warna ini memang menjadi warna khas suku Tolitoli, terutama pada acara-acara adat.
Diatas tandu berdiri dua orang anggota keluarga raja. Tandu dipikul oleh sejumlah orang berpakaian serba kuning. Ada juga yang hanya menggunakan ikat kepala kuning.
Luar biasa, tandu yang cukup berat itu, dipikul secara bergantian dari Madjid agung ke pemakaman di desa Buntuna. Letak pemakaman para bangsawan ini tepat berada didepan masjid tempat saya magrib itu.
Jarak antara masjid agung dan tempat yang dituju itu kira kira lebih 8 km. Naik motor saja saya sampai kehausan. Pembaca bisa bayangkan bagaimana kondisi para pemikul tandu. Tapi mungkin karena rasa hormat dan empati atas duka keluarga raja, maka panasnya terik matahari saat itu tidak dihiraukan. Ribuan orang mengantar almarhumah saat itu, termasuk saya. Semoga Almarhumah mendapat tempat yang layak disisi-Nya. Amiin
Begitulah ceritanya, nah kembali ke perjalanan kami. Setelah shalat jamak qasar kami melanjutkan perjalanan. Keadaan sudah gelap dan hujan rintik-rintik masih saja turun. Setelah tiba di pangi, kami singga sebentar di sebuah toko makanan ringan. Kami membeli kerupuk dan beberapa minuman ringan sebagai teman perjalanan.
Saya memilih 1 botol C1000. Kata orang dimusim pandemi begini baik jika kita banyak minum vitamin C. Saya juga mengambil satu botol air mineral. Setelah semua cukup kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan mulai menanjak. Tanjakan pangi yang suda banyak memakan korban harus kami hadapi. Alhamdulillah perlahan namun pasti setiap level tanjakan bisa kami lalui dengan aman dan lancar. Tanjakan pangi nampak nya sedang mengalami perbaikan. Beberapa titik yang biasanya cukup mengganggu perjalanan, kini sudah cukup baik dilewati.
Sekitar pukul 09 kami sudah sampai di Basidondo. Disini kami istirahat sejenak sambil menikmati ikan bakar pesanan pak ketua. Saya lupa nama rumah makannya.
Nanti kita lanjutkan lagi ya! Capek juga mengetik.
Cerita yang menarik, mambuat penasaran pembaca dalam menanti cerita berikutnya.
BalasHapus