Pages - Menu

Sabtu, 30 Januari 2021

Potret Buram Pendidikan (Catatan Penilaian Subyektif Penulis)



Pengalaman sebagai guru dalam kurun waktu 20 tahun terakhir memberikan pelajaran bahwa ternyata dunia pendidikan penuh dengan hal-hal dilematis dan cenderung kontradiktif. Disebut dilematis karena apa yang dilakukan (terjadi) belum tentu sesuai dengan akal sehat. Disatu sisi jika dilakukan akan bertentangan dengan hati nurani, namun disisi lain jika tidak dilakukan maka akan dipandang melawan arus keinginan kolektif. Pada konteks ini nilai benar dan salah justru menjadi absurd dan kehilangan makna. Klaim salah atau benarnya suatu tindakan (keputusan) tidak lagi dirujuk (didasarkan) pada norma, etik, aturan, atau regulasi yang ada. Tetapi yang menjadi acuan justru kepentingan pihak-pihak yang dinisbatkan sebagai rasa kasian (kemanusiaan) padahal substansinya pihak-pihak ini justru sedang melindungi kepentingan dan kelemahan-kelemahan yang sudah dilakukan. Benar bisa menjadi salah atau salah bisa menjadi benar hal ini bergantung pada apa yang harus diamankan. Semua jadi dilematis dan kontradiktif. 

Pengalaman tersebut adalah :
(1) penilaian pendidikan ditetapkan dengan pendekatan kriteria, maka ditetapkanlah batas minimal nilai kompetensi atau KKM dalam penilaian kompetensi siswa, artinya siswa yang telah mengikuti proses pembelajaran akan dinyatakan tuntas atau lulus jika pada proses penilaian mampu mencapai atau melampaui nilai minimal yang ditetapkan.Jika tidak mencapai nilai minimal maka dinyatakan sebaliknya. Jika waktu pembelajaran belum berakhir (belum dilaksanakan semester) maka dapat dilakukan proses perbaikan (remedial) atau pengayaan. Namun jika batas waktu penilaian sudah berakhir (sudah semester) maka nilai terakhir yang diperoleh siswa akan menjadi nilai final, artinya tidak ada lagi proses perbaikan. Tentu saja nilai akhir ini bisa memenuhi KKM bisa juga tidak memenuhi KKM. Dalam hal ini nilai akhir ditentukan dengan rumusan tertentu antara lain dengan rumus : (2xNH + 3xUTS + 3xUAS)/8 . Artinya prosedurnya jelas.ajeg (konsisten), valid, dan sah. Disamping itu masa penilaian juga ada batas waktunya (buktinya ada jadwal dan kalender pendidikan). Dalam hal ini batas waktu penilaian, waktu remedial, waktu pengayaan ditentukan oleh jadwal dan kalender pendidikan yang sah. Artinya setelah batas waktu itu tidak boleh lagi ada penilaian apapun atau perbaikan nilai apapun kecuali ditentukan secara sah berdasarkan peraturan yang berlaku. Contohnya jika diperguruan tinggi ada "semester pendek".

Bukan hanya penilaian hasil belajar yang menetapkan kriteria, tetapi juga keputusan terhadap naik kelas atau lulus dari sekolah ditentukan berdasarkan kriteria tertentu yang telah disepakati dan ditetapkan sebelum pengambilan keputusan atau eskusi dilakukan. Kriteria inipun semestinya telah diketahui oleh semua pihak terutama orang tua dan siswa sebagai subyek yang paling berkepentingan. Kriteria tersebut misalnya : (1) tidak lebih dari dua mata pelajaran yang tidak tuntas, (3) tidak boleh ada mata pelajaran kejuruan yang tidak tuntas, (3) nilai sikap minimal baik, dan jika ada siswa yang tidak memenuhi kriteria tersebut maka secara "otomatis" dinyatakan tidak lulus atau tidak naik kelas. Tidak perlu ada musyawara, kecuali ada aspek penilaian yang diragukan. kalaupun misalnya ada proses penilaian yang diragukan (ada salah dalam menafsirkan data, atau salah dalam memberikan data), penyelesaiannya bukan dengan musyawara mupakat, tetapi dengan mentresur dan mereview data atau penilaian yang bermasalah saja. Jika terdapat kesalahan atau kekeliruan maka diperbaiki, tetapi jika sudah benar maka berarti sudah sah dan eksekusi dilanjutkan.

Saya selalu menganalogikan kriteria disekolah dan semua regulasi yang berlaku dilembaga pendidikan itu, termasuk visi misi, dan tujuan sekolah sebagai wujud "cetakan paving block". Artinya sebelum membuat paving block, pemiliknya atau pembuatnya sudah memiliki tujuan dan rencana paving seperti apa yang akan dibuatnya. Jika pemilik atau pembuat menginginkan bentuk segitiga maka cetakan berbentuk segitigalah yang akan digunakan untuk mencetak, jika ia menginginkan bentuk segidelapan maka bentuk itu pula yang akan digunakan digunakannya. Kita semua tahu bahwa hasil cetakan paving block akan selalu sama dengan bentuk cetakannya. Andaikan ada hasil cetakan yang kurang bagus atau berubah bentuknya, maka yang harus dikoreksi terlebih dahulu adalah cetakannya, jika cetakan tidak ada masalah, maka pastilah proses pembuatannya yang bermasalah. Kesalahan itu bisa berasal dari materi yang digunakan, bisa berasal dari kesalahan pembuatnya, prosesnya atau lainnya. Namun yang pasti cetakannya (kriterianya) tetap berdiri kokoh sebagai patokan utama. Tidak perna ada seorang tukang paving kemudian mengubah cetakannya hanya karena kualitas paving block yang dibuatnya tidak sesuai dengan harapannya. Justru yang dilakukan adalah memastikan bahwa paving block yang dibuat benar-benar sesuai dengan bentuk yang diinginkan.Jika belum sesuai maka campuran bahan paving dikumpulkan lagi dan dicetak kembali sampai benar-benar sesuai dengan bentuk yang diharapkan.

Mencetak siswa dengan kualitas tertentu sesuai kriteria, pada prinsipnya sama dengan mencetak paving block. Dalam hal ini kriteria (syarat) dan segala ketentuan yang mengikat di sekolah dapat dipandang sebagai cetakan, sedangkan siswa dengan segala kualitasnya dapat dipandang sebagai materi yang akan digunakan untuk membuat paving block. Dalam hal ini siswa yang menjadi masukan sekolah dengan kualitas yang beragam dan membawa modalitas yang dimilikinya akan dibentuk mengikuti "bentuk" dan "model"  yang telah ditentukan oleh sekolah. Jika kemudian ada siswa sampai pada akhir proses (pada saat eksekusi/pengambilan keputusan) belum sesuai dengan kualitas yang diharapkan, maka tidak boleh diluluskan. Tetapi dapat melakukan proses perbaikan "produk" agar menjadi produk yang sempurna sesuai harapan. Dan ini dapat dilakukan sepanjang yang bersangkutan bersedia mengikuti prosesnya. Jadi penyelesaiannya bukan diluluskan atau dinaikkan, atau di tuntaskan dengan mempoles produk seakan-akan sudah memenuhi kriteria. Jika ini terus dilakukan, maka produk cacat akan lebih besar dari produk yang terstandar. Jika produk cacat lebih banyak dari pada produk baik, maka suatu saat lembaga pendidikan kehilangan kepercayaan sebagai lembaga pembentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Sekolah hanya akan menjadi lembaga formalitas bukan lembaga formal yang berkualitas. Lembaga formalitas tentu kita sama-sama paham maknanya, hanya sekedar sekolah, atau asal sekolah saja, atau sekolah asal-asalan.    

Sayangnya kondisi sekolah kita saat ini tidak jauh dari praktek keliru tersebut. Mungkin ada banyak sekolah yang memiliki kualitas baik dengan menjalankan secara ideal regulasi yang berlaku. Tetapi harus kita akui juga bahwa sekolah dengan praktek-praktek keliru tersebut masih jauh lebih banyak. Buktinya kualitas pendidikan secara umum tidak kunjung membaik, terutama di daerah. Bahkan ada kecenderungan semakin memburuk, karena kebanyakan pimpinan lembaga lebih mengedepankan kuantitas dari pada kualitas. Pimpinan sekolah lebih memilih strategi menawarkan kemudahan meskipun dengan kualitas rendah dari pada menawarkan kualitas tinggi namun dengan konsekwensi tinggi pula.Ibaratnya menjual produk, pimpinan sekolah lebih suka menjual dagangan obralan dengan kualitas yang rendah tapi laku, dari pada menjual dagangan berkualitas (high claas) tapi dengan harga yang cukup mahal. Memang tidak dapat dipungkiri ada hukum demand dan supplay yang berlaku disini. Peminat produk dengan kualitas rendah mungkin jauh lebih banyak dari pada peminat kualitas mewah sehingga dari persfektif tertentu pilihan sikap pimpinan seperti itu mungkin dapat dipahami. Tetapi para pimpinan sekolah lupa atau mungkin tidak tau bahwa menawarkan barang bagus dengan harga terjangkau akan lebih menjanjikan dan relatif permanen dari pada barang murah dengan kualitas buruk. Lembaga pendidikan merupakan instrumen negara yang bertugas dan berfungsi menyiapkan generasi bangsa. Dunia yang semakin kompetitif dan penuh ketidakpastian tentu memerlukan sumberdaya manusia yang siap dengan kualitas yang tinggi. Lantas, bagaimana dengan siswa yang dididik dan ditempah dengan kualitas pengelolaan pendidikan yang rendah. Memang ada saja logika yang mengatakan bahwa semua manusia bisa berubah sesuai dengan kondisinya. Orang-orang yang setuju dengan logika ini biasanya memberikan beberapa contoh kasus siswa-siswa yang dengan kualitas rendah bahkan nyaris tidak perna sekolah tetapi akhirnya bisa menjadi pemimpin, pengusaha sukses, atau sukses dalam hidupnya. Contoh kasus tersebut kemudian diperkuat dengan contoh kasus yang kontradiktif, dimana siswa-siswa yang saat sekolah memiliki kualitas yang tinggi (berprestasi) tetapi kemudian pada akhirnya tidak beruntung dalam hidupnya. Jika tidak berpikir panjang, maka kita mungkin akan setuju dengan pandangan tersebut. Apalagi secara kasat mata, kita melihat bahwa para pejabat daerah (dibeberapa daerah) kita bukanlah orang-orang yang sukses dalam pendidikannya, tetapi faktanya mereka menjadi pejabat yang sukses. Bahkan tidak jarang para pejabat ini mempropogandakan kelemahan mereka saat sekolah, tetapi kemudian sukses dan memimpin orang-orang yang sukses sekolahnya dulu. ini fakta, ini kenyataan yang tidak dapat dibantah karena nyata ada dalam kehidupan sosial kita saat ini. Bagi orang-orang yang berpikir pragmatis tentu akan setuju dengan pandangan di atas bahwa kualitas siswa tidak terlalu penting, yang penting mereka sudah sekolah. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak lembaga formal hanya mengedepankan aspek formalitas, sekolah asal atau asal sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar